Six

4.7K 487 240
                                    

Written by Refalea
.

.

.

.

.

Sangat sial bagi Hinata, hari ini adalah hari kamis. Itu berarti dia mempunyai jadwal kuliah siang nanti. Setelah apa yang Uchiha Sasuke lakukan padanya, cukup membuat dia tidak ingin ke kampus selama sisa hidupnya. Dia tidak ingin bertemu dengan pemuda brengsek itu lagi. Tidak! Dia tidak mau.

"Uchiha sialan," bisiknya dalam tangisan.

Hinata mengalami semuanya dalam waktu kurang dari dua minggu. Seperti ledakan kembang api terjadi di kepalanya dan membuatnya pusing.

Benci. Kesedihan. Keputusasaan. Tidak dipercaya. Pelecehan. Amarah, sekaligus kepedihan yang mendalam. Semuanya tidak baik. Semuanya menjengkelkan. Dan dia tidak berdaya melewati itu semua.

Dunianya seketika menjadi suram saat Sasuke muncul. Menghancurkannya dalam sekejap. Itu tidak adil. Kenapa tiba-tiba dia datang dan membuat hidupnya menjadi neraka kedua?

Entah apa yang Sasuke lakukan semalam padanya. Pada tubuhnya. Tapi, Hinata bisa merasakan jika itu akan menjadi sesuatu yang buruk. Dia pulang dengan menangis, mengabaikan para pelayan dan masuk ke dalam kamarnya di lantai dua secepat yang dia bisa.

Dia tidak ingin bertemu satupun anggota keluarganya. Tidak! Tidak sekarang. Dalam keadaan mata berair, rambut berantakan dan, pulang pagi. Dia seperti pelacur yang tepat. Menyedihkan.

Isakan Hinata kembali datang dan dia meredam suaranya dengan selimut. Jika ada orang yang ingin dia bunuh sekarang, pastilah Uchiha Sasuke nama yang tepat. Bagaimana bisa lelaki itu membuat hidupnya berantakan dalam satu malam? Hinata membencinya. Sangat. Tapi... mungkin inilah alasannya. Penolakan untuk Uchiha Sasuke sangat tidak berjalan dengan baik. Dia pantas ditolak, sebuah suara bicara impulsif.

Ya! dia pantas ditolak. Hinata mengerang dan menggeleng. Oh tidak! Tidak! Tapi dia pantas dibinasakan, dihapuskan dari dunia, atau dilenyapkan jika perlu.

Sebuah ketukan di pintu menariknya keluar dari pikirannya. Dia membersihkan sisa air matanya dan menusuk kepalanya dari selimut tebal berwarna biru gelap. Sebuah suara merdu menyusul setelah ketukan kedua.

"Hinata ... sayang, aku yakin kau di dalam."

Sikap defensif-nya menguar dari dalam tubuh Hinata. Dia duduk tegak dan bicara.

"Y-ya."

"Apa aku boleh masuk?"

Hinata lupa sama sekali jika dia mengunci pintu kamarnya. Dia cepat turun dari Queen bed-nya dan mengecek wajahnya di cermin, di samping tempat tidur. Matanya sedikit bengkak. Dia mengerang. Mengambil kapas dan membasahinya dengan face water. Hinata menggosoknya dengan cepat ke area mata. Sekarang dia terlihat seperti seorang yang bangun tidur. Pintar.

"Haha-ue," dia bilang saat membuka pintu. "Maaf, aku lupa jika aku mengunci pintuku." Lanjutnya, berusaha menghilangkan nada sumbangnya akibat tiga jam menangis.

"Dan boleh ibu tahu alasannya kau melakukan itu?" tanya Hikari, melangkah masuk. Melihat Hinata yang berfikir keras, Hikari menambahkan "Apa semuanya baik-baik saja, sayang?"

"Eh...Ermm, y-ya," jawab Hinata gagap.

"Jadi, kenapa kau mengunci pintumu?" Hikari bertanya lagi, kini duduk di sprei beludru biru cerah. Menepuk tempat kosong di sebelahnya. Hinata semakin gelisah saat melihat ekspresi menenangkan di mata Hikari. Hinata tahu jika dia tidak bisa menolak wanita berparas anggun di depannya. Dengan langkah ringan Hinata melangkah mendekat dan duduk di samping Hikari.

Tangled: CheckmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang