Thirteen

5.4K 394 161
                                    

Written By Aza_nope

.

.

.

.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Suara engsel pintu kamar mandi yang dibuka memunculkan sosok Hinata yang baru saja selesai mandi. Bau segar sabun mandi dan shampo langsung menguar begitu ia keluar. Namun, sayang itu semua tak sesuai dengan mimik wajahnya yang masih sayu dan matanya yang bengkak efek karena menangis berkepanjangan.

Bagaimana rasanya jika kau harus melihat orang yang paling kau sayangi mendapat musibah hingga membuatnya tak berdaya bahkan hampir kehilangan nyawanya. Apalagi itu adalah ibumu sendiri. Wanita yang paling berharga, berjasa, dan terbaik yang kamu punya. Hinata tak bisa berkata-kata lagi, yang bisa ia lakukan sedari tadi hanya menangis sambil terus menyebut nama ibunya. Hatinya bergetar risau membayangkan jika sesuatu yang buruk menimpa ibunya. Untaian do'a terus dipanjatkan sepanjang hari sejak ibunya masuk ke dalam ruang UGD hingga sekarang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Hinata masih betah terus berada di samping ibunya. Menatap wajah ayu ibunya yang pucat dan terdapat banyak luka lecet akibat kecelakaan.

Hinata masih termenung seperti orang linglung sampai suara lirih adiknya membuat ia tersentak. Di sana Hanabi sedang memegang tangan ibu sambil terus berguman sedih. Sesekali tangan mungilnya ia gunakan untuk mengusap matanya yang berair. Lalu kembali merebahkan kepalanya di pinggiran ranjang pasien sambil menatap lemah pada wajah sang ibu. Di sofa ada Ayahnya yang sedang menundukkan kepala sedari tiba di rumah sakit. Seolah-olah Ayah sudah tak ada lagi kekuatan untuk sekedar mengangkat kepalanya. Walaupun hanya menatap wajah ibu dan anak-anaknya. Sedangkan Neji yang juga datang bersama Ayah juga sama terpukulnya dengan Hanabi dan Ayah. Tapi, kemana dia sekarang? Kenapa sudah tidak disini? Ah, Hinata ingat sekarang. Tadi sebelum Hinata ke kamar mandi, Neji berpamitan pergi untuk urusan ke kantor polisi.

Hinata kembali menjatuhkan pandangan pada ibunya. Tak ada tanda-tanda bahwa beliau akan bangun. Suasana malam ini terasa sunyi dan mencekam bagi Hinata. Tiba-tiba, dadanya seperti mendapat sentakan yang keras. Sampai sesuatu membuat Hinata merinding dan berkeringat dingin seketika. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlari maraton. Hawa dingin yang asing menyeruak dalam ruangan. Bukan sebab AC yang sedang menyala. Entah, karena hal apa, Hinata menelisik seluruh sudut ruangan kamar. Mengamatinya satu persatu. Jantungnya mulai berdegup kencang. Bahkan Hinata sendiri bisa mendengarnya. Saat tak menemukan hal yang janggal, Hinata mendesah lega sambil menormalkan kembali detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup tak karuan.

Hinata mulai melangkah mendekati ranjang dan berdiri di samping Hanabi. Niatnya ingin meminta Hanabi untuk istirahat di kasur yang sudah disediakan bagi keluarga pasien. Namun baru saja tangannya ia ulurkan untuk menepuk pundak sang adik. Lagi-lagi dirinya merasakan hawa dingin yang disertai hembusan angin. Hinata kembali tersentak kaget. Buluk kuduknya seketika meremang. Bahkan lehernya seolah kaku untuk ditolehkan. Hinata tak berani melirikkan matanya barang sedikitpun. Ia merasa sekarang ada yang sedang memperhatikannya dari arah sebelah kiri ranjang. Ayahnya memang berada di sebelah kiri, tapi beliau duduk di sofa, sedikit berjauhan dari ranjang pasien. Lagi pun tak ada yang membuka mata selain dirinya saat ini. Hinata mulai takut. Apa jangan-jangan di sini sedang ada hantu rumah sakit yang lewat. Hinata mengenyahkan pemikiran yang konyol itu. Mana mungkin ada hantu, pikirnya.

'Ayo, Hinata cepat bangunkan Hanabi,' batinnya.

Dan Hinata kembali dikejutkan oleh sesuatu hingga sukses membuatnya menjerit. Matanya memejam erat dan tangannya ia katupkan di depan dada. Sambil bibirnya bergetar dan mengucapkan kata-kata yang kurang jelas.

Tangled: CheckmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang