Tujuh menit berlalu, Sukirman masih dalam keadaan belum sadar, namun denyut nadi masih terasa, Ia masih terbaring tak berdaya di atas tikar kotor milik Rozak.
Tiba-tiba datang suara sirine ambulan dari RSU Kardinah kota Tegal, hanya sekitar sepuluh menit sudah sampai, inilah yang dinamakan layanan publik, harus siap siaga 24 jam penuh.
Suara sirine yang keras dan melengking menyebabkan seluruh warga desa kebingungan, apa yang sedang terjadi.
Petugas ambulan dengan baju yang khas bertuliskan nama rumah sakit langsung turun dari mobil bersama sang sopir, ia membuka bagasi belakang dan mengeluarkan tandu.
Diangkatnya tubuh Sukirman oleh Pak Rozak dan petugas ambulan. Ratinah serta Rozak ikut serta menaiki ambulan tersebut, tangan ratinah tetap mengelus-elus dahi suaminya yang berkeringat.
Sesampainya di rumah sakit, Ratinah melongo, ia belum pernah menginjakkan kaki di kota yang sangat ramai seperti ini.
Suasana rumah sakit juga begitu ramai, di trotoar depan terdapat banyak sekali orang-orang berjualan entah pedagang kaki lima maupun asongan.
Warna hijau dan arsitektur rumah sakit yang tertata rapi membuat hati Ratinah seketika menjadi sedikit tenang.
Pak Rozak berlari ke arah pelayanan informasi, entah apa yang dilakukannya pikir Ratinah.
Kemudian Sukirman dialihkan menggunakan ranjang berjalan, dibawanya ke ruang IGD.
Selang berapa lama Pak Rozak datang menemui Ratinah di depan ruang IGD, Ia duduk di kursi panjang berwarna hijau.
Ratinah memikirkan anaknya yaitu Siti, bagaimana cara mengabarkan anaknya, Ia tak punya cara untuk mengabarkannya.
"Jak, siti belum aku kabarin, gimana caranya yah?" tanya Ratinah.
"Kamu punya nomer telefonnya Nah?" jawab Pak Rozak.
Ratinah seketika sadar, matanya berbinar-binar, Ia tahu bahwa Siti pernah menitipkan nomor telefonnya Herman, Ratinah menempelkannya di lemari tempat tidurnya.
Dokter yang gagah tinggi datang dari ruang IGD, Sukirman telah sadar, Sukirman pingsan karena tingkat darahnya yang begitu tinggi yaitu 155mm/hg.
Lalu Sukirman dipindahkan ke ruang rawat inap yang tak mewah, yaitu ruang Bougenville.
Ruangan ini terletak ditengah-tengah rumah sakit, tingkat kelas ini merupakan kelas paling bawah bernama bunga-bunga.
Ratinah menyuruh Pak Rozak pulang dan segera memberitahu si Herman, suami anaknya, Ia menurut akan hal itu.
Ia langsung berlari melewati koridor-koridor yang membingungkan, sesampainya di depan Rumah sakit.
Rozak menunggu angkot di trotoar, banyak sekali pengemis di trotoar, pengamen jalanan, semuanya berkumpul di pertigaan ini.
Letak rumah sakit ini memang pas berada pertigaan, sehingga cukup ramai suasananya.
Rozak segera menaiki angkutan kota jurusan Slawi dengan angkot yang berwarna kuning.
Ia masuk ke rumah Sukirman dan menuju ke kamar, tepat di lemari tertempel dengan jelas nomor telefon Herman. Rozak segera mencatat nomor tersebut di Handphone miliknya.
Karena menelpon ke arah telepon rumah sangat mahal pada masa itu, Rozak pun memutuskan untuk menelponnya lewat wartel, karena biaya yang lumayan murah.
Menemukan wartel di desa Procot adalah sesuatu yang mustahil, buat apa perusahaan telefon menempatkan wartel di desa yang penghuninya buta teknologi.
Kebetulan Ia punya motor yang dapat mengantarnya ke pusat kota Slawi, Ia mengendarai motor bebeknya dengan sangat pelan, berharap segera menemukkan wartel, Ia berputar-putar tak juga menemukkan.
AkhirnyaIa berbalik arah dan menuju ke arah utara, sesampainya di kawasan industriAdiwerna yang selalu macet, ia menemukan sebuah wartel kecil berwarna biru.
---------- ---------- ---------- ---------- ---------
PENASARAN KAN DENGAN CERITA SELANJUTNYA?
SILAHKAN TUNGGU SAJA UPDATE BAB SELANJUTNYA ^_^
Jangan lupa vote, comment & follow Aku yah, pasti langsung follback kok ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
NOTHING A WAY
AcciónSebuah novel yang menceritakan tentang seorang Pemuda yang diiterpa ombak konflik kehidupan yang sangat deras pada hidupnya. Dan pada suatu hari... Mau tau kelanjutan ceritanya? Silahkan baca saja, pasti menarik kok ceritanya, harus siap...