Dua Puluh Lima

1.5K 203 87
                                    


New York

     "Jadi aku bertemu dengan Anita minggu lalu," kataku membuka pembicaraan lebih dulu. Harry duduk dengan kedua sikutnya bertumpu di lutut, menatapku. Ya aku tahu yang kau pikirkan. Aku memanggilnya untuk yang terakhir kali. Aku berjanji setelah ini tidak akan mengganggunya lagi.

     "Aku benci cenayang itu." gerutu Harry. Kurasa dia masih sakit hati dirinya harusnya mengungsi saat Anita melakukan pengusiran arwah dari rumahku dulu.

     "Aku tahu," aku tertawa melihat raut wajahnya, lalu melanjutkan, "Ia memintaku untuk melepaskanmu."

     Harry masih terdiam. Air mukanya tidak bisa kutebak, entah ia senang atau sedih mendengar perkataanku barusan. Aku ikut diam selama beberapa saat, mencoba memberinya waktu untuk berpikir.

     "Itu juga yang aku minta." ucapnya singkat. Ouch. Jawabannya tersebut rasanya menusuk sekali. Rasanya seperti seseorang melayangkan pukulan uppercut dan persis kena ulu hatiku. Ia sepertinya tahu dari ekspresi wajahku bahwa ia tidak seharusnya berkata seperti itu.

     "Maksudku, aku ingin kau melepasku agar kau bisa bersama Edward, atau lelaki manapun," koreksinya. Aku menunduk seraya mengusap setetes air mata yang jatuh di pipi kiriku, lalu kembali mendangak dan tersenyum pada Harry, "Aku tahu," kataku.

     "Karlie, jangan menangis," Harry berjalan menghampiriku, ia melingkarkan lengannya erat-erat di sekitar tubuhku. Walaupun mati rasa, dia tahu gestur ini bisa menenangkanku dan membuatku nyaman. "Edward lelaki yang baik, aku tahu itu, aku memperhatikannya selama ini. Kau kira aku akan melepasmu begitu saja, hah? Aku harus tahu siapapun yang menggantikan posisiku nanti bisa benar-benar menjagamu, mencintaimu, dan memperlakukanmu dengan pantas."

     Dapat kurasakan kecupan kecil di puncak kepalaku. Aku mendangak menatap matanya. Bola mata hijau yang dulu pernah terlihat sangat hidup dan bersirat kini redup, tapi pandangannya masih persis sama seperti yang kutahu selama ini. Masih hangat dan penuh sayang. Kalau memang ini yang terakhir kalinya aku bisa melihat dan menggenggam tangannya, aku ingin memperhatikan setiap detil wajahnya lekat-lekat. Aku ingin menyimpan semuanya di memoriku dan berharap seiring bertambah tua usiaku, kenanganku akan Harry tidak akan ikut memudar, aku berharap aku masih bisa mengingat bentuk matanya, hidungnya dan bibirnya. Aku berharap masih bisa mengingat aroma tubuhnya. Aku berharap belasan tahun dari sekarang aku masih bisa memetakan dengan sempurna dimana saja letak tinta permanen dilukiskan di tubuhnya.

     Dan disuatu malam yang sunyi senyap aku berharap masih bisa membayangkan bagaimana Harry memelukku dengan erat, berusaha membuatku nyaman, dan ia akan menghujaniku dengan ciuman walaupun dirinya sendiri tidak bisa merasakan semua hal yang kusebutkan diatas. Ia akan tetap melakukannya karena ia mencintaiku. Aku yakin seratus persen, di kehidupanku sekarang ini aku tidak akan pernah mencintai seseorang sebesar aku mencintai pria yang mengelus punggungku dengan lembut sekarang ini. 

     Aku tidak akan pernah merasa senyaman dan seaman seperti ketika aku bersama dirinya. Bahkan bersama Edward sekalipun, aku tidak pernah merasa senyaman seperti saat ini. Bersama Harry semuanya terasa alami, tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada yang dibuat-buat, kami saling berkorban untuk satu sama lain, tidak ada yang egois, kami berdua sama-sama berkompromi. 

     Sedangkan bersama Edward, jujur aku takut. Bersama Edward seperti dunia yang baru. Tidak perlu susah-susah membandingkan mereka berdua. Perbandingan nomor satu, Edward bernapas dan jantungnya berdetak sepertiku. Disitu saja, ia sudah menang poin. Itu artinya aku memiliki kesempatan bersamanya, kesempatan yang tidak akan pernah kumiliki dengan Harry. Dan di situlah aku menggantungkan semua harapanku saat ini, kesempatan yang kalau memang beruntung, aku akan berakhir bersama Edward. Tapi kalau kami tidak bertahan lama sekalipun, aku akan tetap mengingat bahwa ia adalah satu-satunya orang yang pernah kuanggap layak menggantikan Harry, walaupun hanya sementara.

"Kau bisa meminta Edward kemari?" tanya Harry tiba-tiba. Aku mendangak menatapnya bingung.

"Sekarang?" tanyaku kembali. Ia mengangguk.

"Untuk apa?"

     Alih-alih menjawab ia justru meraih ponselku dari atas meja dan menyodorkannya ke arahku. Masih dengan ekspresi bingung dan ragu kutekan tombol dial di layar ponsel. Selang beberapa detik kemudian terdengar suara familiar dari ujung telepon. Sambil menghela nafas panjang kucoba merangkai kalimat untuk mengundangnya kemari.

"Halo?"

***

Maap harusnya kemarin diupdate tapi lupa wkwk

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Here We Go Again (Sequel to Gone)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang