Teriknya matahari seakan menyambut hari pertama masuk sekolah. Hari itu adalah hari pertama ajaran baru semester dua, dan tak terasa 6 bulan telah terlewati oleh Aruna di SMA Querencia. Aruna merasa sangat bahagia. Dengan rekap pembelajarannya yang bagus, ia merasa tak sia-sia berjuang mati-matian untuk bisa memasuki sekolah tersebut.
SMA Querencia memang sangat terkenal, baik dari segi mutu pembelajarannya yang bagus dan rangkaian tes-nya yang sulit dan rumit. Sebenarnya, ada dua alasan yang mendorong Aruna untuk memasuki sekolah tersebut. Yang pertama, SMA tersebut merupakan satu-satunya sekolah yang mengadakan jurusan bahasa. Aruna sudah terlalu muak dengan rangkaian nama-nama ilmiah, perhitungan-perhitungan rumit, dan rumus-rumus monoton. Walaupun pada akhirnya, untuk menghindari hal-hal tersebut Aruna justru harus mempelajarinya, karena setiap murid harus mendapatkan nilai minimal 9,00 untuk lolos tes uji. Yang kedua, dulu Atala pernah berkata bahwa SMA Querencia adalah tujuannya.
Jika ada hal lain yang bisa Aruna sukai selain senyuman seorang Atala, sudahlah pasti itu buku. Bak di mana ada gula di situ ada semut, maka di mana ada Aruna, di situ ada buku.
"Run, mau ikut gak?" tanya Cigul dengan sebungkus beng-beng di tangannya. Mulutnya tetap mengunyah entah beng-bengnya ke berapa hari itu.
"Kantin?"
"Hooh."
"Gak deh, mau ke perpus."
"Eh, eh bentar!" suara Alifia menerobos masuk ke percakapan, "nitip ya jodohnya Atala, hehe." Alifia menyerahkan satu buah buku dan satu lembar uang seratus ribu.
"Ini mau nyumbang atau apa?"
"Itu udah satu semester gak gua balikin."
∞
"Anjing!" Sebuah umpatan lolos dari mulut pemuda berambut pirang itu. Darah segar mulai mengalir dari ujung bibirnya yang robek terkena pukulan barusan. Tak terhitung lagi berapa banyak memar yang tercetak di wajahnya.
"Dasar bocah kurang ajar ya, udah babak belur juga masih bisa mengumpat," ujar pemuda yang tadi melayangkan tinjunya ke pemuda bersurai pirang. Kondisinya pun tak jauh berbeda dari orang yang baru saja dihajarnya.
Tanpa disadari, pemuda pirang tersebut langsung bangkit dan melayangkan tinjuan dengan brutal. Ia terus menghajar meskipun darah sang korban telah membasahi ujung lengan bajunya. Orang-orang di sekitarnya hanya dapat melihat tanpa bisa melerai. Mereka tak mau menjadi korban pemuda itu yang selanjutnya.
"Enough!" seorang pemuda lain ─yang juga berambut pirang─ datang seraya menarik keras kerah sosok yang tengah kalap itu sampai terjungkal ke belakang. Ia mati-matian menahan pemuda tersebut agar tak lepas dari pegangannya.
Tak lama, seorang pria paruh baya berlari bersama seorang guru menghampiri keduanya yang sedang dalam kondisi menyedihkan itu. Sang guru langsung berhambur ke arah murid yang sepertinya tengah sekarat itu, sedangkan pria paruh baya itu menghampiri kedua pemuda bersurai pirang. Ia menghela napas berat, merasa bahwa ada beban yang membuat sesak dadanya.
"I think there will be no other choice. Kamu pindah sekolah mulai besok."
KAMU SEDANG MEMBACA
ASA
Genç KurguCinta tak selalu harus tersampaikan. Karena sebuah rasa berhak untuk tetap menjadi rahasia. Ini adalah sebuah kisah cinta. Dari sosok-sosok yang hanya mampu mencintai, tanpa bisa memiliki. Pada akhirnya, masihkah ada asa?