Malam semakin selaras dengan gulitanya.
Lalu kau hadir dibenakku.
Atau sesekali disetiap hembusan tembakau yang kubakar.
Sampai akhirnya hujan datang, membasahi pipimu.
Menghasil genang atau bahkan kenang.
Hingga kau semakin dekat mendekati.
Membayang-bayang diatas awang.
Menuntunku pelan berjalan.
Kejalan yang tak mampu kuterawang.
Aku tersesat.
Aku buta sekarang, tak tau arah mengarah langkah.
Hujan kian lebat, membasahi seluruhnya.
Bukan hanya pipimu, tapi juga hatiku.
Apa inginmu?
Semudah itu datang.
Menanam harap memupuk rasa, tapi tak pernah kau sirami kepastian.Pulau Sebuku,
November 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
belum ada judul
PoesíaHanya seonggok daging berjalan yang tercipta dari cipratan mani dua insan anak adam.