Masih teringat jelas di benakku, Jeon Jungkook—kakak lelaki yang sangat kusayangi—adalah sosok yang periang dan lucu. Semasa sekolah dasar, sifatnya begitu menyenangkan dan selalu berhasil membuatku tertawa. Kami berdua sering bermain bersama. Kakak gemar menggelitik perutku atau mencubit pipiku dengan gemas, diiringi tawa khasnya yang menghangatkan.
Mungkin saat itu aku benar-benar merasakan kesempurnaan hubungan kakak-adik. Tidak ada pertengkaran, tidak ada rasa cemburu, atau iri atas porsi perhatian yang orang tua berikan kepada kami. Aku bahkan sangat mengidolakannya, sampai-sampai sering membanggakan kakak di hadapan teman-teman sekolah sambil dengan lantang berkata, "Jangan berani-berani menggangguku, atau kupanggil kakakku yang siap menghajar kalian semua!"
Memikirkannya saja membuatku malu sekarang. Betapa kekanak-kanakan diriku dulu, menggunakan nama kakak sebagai tameng pelindung, padahal aku sendiri terkenal sebagai salah satu siswi yang ditakuti di sekolah, tapi begitulah keadaannya ketika kami masih duduk di bangku sekolah dasar—akur, tanpa pertengkaran yang menyakitkan.
Namun, semua kebahagiaan itu seolah hangus terbakar ketika kakak memasuki masa remaja. Perlahan-lahan sifatnya mulai berubah, dan aku menjadi salah satu korban dari perubahan itu. Entah karena sedang mengalami masa puber atau ada sesuatu yang tidak kuketahui, sifatnya menjadi lebih kasar, tapi di saat yang sama protektif secara berlebihan.
Dia selalu menjadi orang pertama yang menanyakan keberadaanku, bagaimana kegiatanku di sekolah, nilai-nilai pelajaranku, bahkan sering bertanya apakah ada anak laki-laki yang berani mendekatiku. Semua itu dilakukannya jauh lebih cepat dibanding ayah dan ibu, sampai terkadang aku berpikir, "Apakah sebenarnya aku ini anak kakakku?"
Sekarang aku sudah kelas 3 SMA, sementara kakakku adalah mahasiswa di universitas paling bergengsi di Korea Selatan. Di usianya yang ke-22, dia tumbuh menjadi pria tampan, pintar, tinggi, dan atletis—benar-benar idola para wanita. Sedangkan aku? Hanya gadis biasa dengan tinggi badan standar, wajah yang bisa dibilang cantik karena masih satu darah dengannya, dan prestasi akademik yang tidak terlalu menonjol. Meski begitu, aku tetap menjadi siswi yang paling terkenal di sekolah berkat sifat "premanku" yang awet sejak SD.
Perbedaan yang cukup kontras, bukan? Tapi menurutku, yang paling mencolok dari kami adalah sifatku yang ceroboh dan sifat kakak yang perfeksionis. Jujur saja, hal itu sangat membuatku malu karena kakak sering mengungkitnya saat kami bertengkar.
Berbicara soal pertengkaran, sikapnya kini semakin kasar. Ia kerap menyerangku secara fisik maupun verbal. Ketika marah, emosinya seolah tak terbendung, bahkan oleh ayah dan ibu sekalipun, namun anehnya, setiap kali ayah dan ibu menanyakan alasan di balik sikapnya yang kasar, ia selalu menjawab dengan santai:
"Karena aku menyayangi adikku."
- Possessive Brother-

KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Brother (18+) COMPLETED
FanfictionDia kasar, tapi dia kakakku. Dia menyiksaku, tapi dia menyayangiku. Aku terjebak pada situasi yang sangat sulit. Cinta terlarang yang tumbuh di antara pasangan kakak beradik. Seseorang tolong selamatkan aku.