Monster

7.8K 219 11
                                    

"Jeon Eunrin, kemari."

Aku mendengus ketika kakak memanggilku dengan tatapan mengintimidasi itu lagi. Sorot matanya yang tajam sudah cukup memberitahuku bahwa ada hal serius yang ingin dia bicarakan. Dan jika itu menyangkut sebuah pilihan, bisa dipastikan akan berakhir dengan pemaksaan. Aku sudah sangat hafal dengan perubahan sikapnya—karena aku telah mempelajarinya.

"Ada apa?" tanyaku lesu, memberanikan diri menatap matanya langsung.

Kakak membenarkan posisi duduknya lalu melipat kedua tangan. Matanya bergerak ke bawah, mengisyaratkanku untuk duduk di lantai—tepat di bawahnya—alih-alih di sofa. Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti budaknya: duduk di lantai dan menatapnya dari bawah, seakan-akan memandangnya sebagai tuan yang berkuasa untuk mengendalikanku. Tadi aku sempat mencoba duduk di sampingnya, sekadar menguji apakah ia akan memarahiku. Tapi ternyata tidak.

"Kau sudah menentukan universitas dan jurusanmu untuk kuliah?"

"Sudah. Kenapa?"

"Apa pilihanmu?"

"Aku ingin kuliah seni. Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku tidak berbakat di bidang akademik. Jadi, lebih baik aku memilih kampus non-akademik yang sesuai dengan kemampuanku."

Mendengar jawabanku, kakak terdiam dan menutup matanya. Air wajahnya terlihat sangat serius—bahkan bagiku seperti sedang menahan marah.

"Sudah berapa kali kubilang? Kau tidak boleh kuliah seni. Kau ini pikun atau tuli?"

Aku hanya bisa mengelus dada, berusaha menenangkan diri. Aku tidak mau terbawa emosi yang berakhir dengan adu mulut atau pertengkaran fisik.

"Tapi aku benar-benar tidak bisa kuliah sepertimu. Aku tidak mau jadi mahasiswa salah jurusan dan malah mengecewakan kakak, ayah, dan ibu. Aku memilih seni karena itu sesuai dengan kemampuanku. Kupikir aku perlu mengasahnya dan tekun di bidang itu agar bisa menjadi mahasiswa seni yang berprestasi."

"Jadi kau membantahku? Kau pikir siapa yang akan membiayai kuliahmu? Dirimu sendiri? Kau pikir umurmu yang belum menginjak 20 tahun sudah bisa menentukan masa depan sendiri? Jangan seenaknya, Jeon Eunrin. Di sini hanya aku yang bisa menentukan masa depanmu, karena aku yang paling mengerti dirimu."

Muak.

Aku muak sekali mendengar deretan kalimat terakhir yang ia ucapkan. Sifat jahatnya muncul lagi—seenaknya mengatur hidup orang dan memaksakan kehendaknya sendiri. Kali ini aku tidak mau dikendalikannya lagi. Aku harus memperjuangkan keinginanku, atau aku akan tersiksa selamanya.

"Paling mengerti apanya? Kalau kakak sangat mengerti diriku, harusnya kakak mendukung pilihanku, bukan menentang atau bahkan memaksa. Aku memang jauh lebih muda dari kakak, tapi bukan berarti aku tidak bisa menentukan masa depanku sendiri!"

Cukup lega rasanya setelah mengutarakan kata-kata yang sedari tadi tertahan, meskipun diiringi detak jantung yang berpacu cepat—rasanya seperti habis naik roller coaster.

Kakak tersenyum miring, sorot matanya meremehkanku. Aku yakin ia tidak peduli dengan perkataanku barusan dan menganggapnya sebagai rengekkan anak kecil.

"Jangan bercanda, Eunrin. Kau akan menyesal jika bersikap seperti itu padaku."

Cuih! aku bahkan tidak menyesal sama sekali.

"Dengarkan aku dan jangan membantah. Kalau besok kau tidak mengisi formulir pendaftaran di kampusku—atau kampus manapun yang tidak ada jurusan seninya—aku tidak akan sungkan-sungkan memberimu pelajaran. Aku melakukannya agar kau mengerti."

"Terserah kakak. Aku lelah, ingin tidur. Hari ini banyak sekali tugas di sekolah."

Aku bangkit berdiri dan hendak beranjak pergi, namun suara sialan itu menahanku kembali.

Possessive Brother (18+) COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang