Harga diri gue seharga pulsa.
Gue sampai di rumah ketika hari sudah menjelang malam. Mama dan papa menatap gue, lalu dalam sekejap mereka memeluk gue. Gue bingung dengan kelakuan mereka, apalagi ketika sadar mama nangis. Gue makin bingung. Akhirnya gue sadar kalau mereka cemas dan ngira gue kabur dari rumah.
"Jangan kabur lagi dari rumah, Sayang! Mama dan Papa nggak pernah bedain kamu dan masmu. Kami sayang kamu. Nggak sama besarnya karena kamu dan masmu itu beda. Kami mencoba bersikap adil dengan memperhatikan apa yang kamu butuhkan dan masmu butuhkan..."
Gue cengo. Ketika gue menatap papa, pria itu hanya tersenyum sedih dan mengusap kepala gue sayang. Ini apa-apaan? Sejak kapan gue kabur dari rumah? Gue memang nggak izin, tapi bukan berarti gue kabur.
Gue mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka lalu bertanya bingung. "Emang siapa yang kabur, Ma?"
"Kamu! Kan kamu udah buka-buka surat kelahiran kamu, lalu kamu pergi dari rumah."
Gue makin nggak paham. "Kenapa Mama bisa nyimpulin kayak gitu?"
"Kamu pergi nggak bilang-bilang, ditelepon juga nggak aktif. Makanya... Mama nyuruh masmu nyariin. Sebenernya kamu dari mana, sih, Nduk?" Papa yang ambil bagian menginterogasi kali ini. Gue menggaruk tengkuk.
"Dari panti asuhannya Mas Tedjo dulu..."
"Buat apa? Baksos? Kan kamu bisa ajak masmu sekalian! Jangan pergi sendiri, keluyuran sendiri! Kamu itu cewek!" Papa ngomel lagi. Gue mengangguk pelan, paham, nggak melawan.
"Maafin Rami, Ma, Pa!" Gue menyerah. Mas Tedjo masih memperhatikan kami. Sesekali cowok itu tersenyum dan mengangguk pelan. Gue makin yakin kalau Mas Tedjo itu baik, nggak secupu dan semengerikan yang gue duga.
Gue diizinkan mandi dan juga makan setelah itu, setelah gue diceramahi panjang lebar. Setelah mereka lelah dan akhirnya kembali ke kamar, gue menemui Mas Tedjo. Ada banyak hal yang harus gue bicarakan sama dia.
Gue masuk ke kamarnya. Gue emang jarang main sama dia, tapi gue pernah masuk ke kamarnya sesekali. Kemarin kan udah. Pas gue menyelinap buat nyari tahu KTP dan lainnya. Mas Tedjo mendongak. Laptopnya mati. Itu artinya dia nggak lagi sibuk lembur dengan tugasnya.
"Mas sibuk?" tanya gue pelan. Mas Tedjo menggeleng cepat, lalu menepuk tempat di sebelahnya.
Meski gue ogah berdekatan dengan Mas Tedjo, tapi gue nggak pernah canggung kumpul dan berdua bareng dia. Palingan gue yang berbahaya. Gue yang bisa gigit dan juga jahatin dia. Karena mood gue sekarang lagi baik, makanya gue mau berduaan sama Mas Tedjo.
"Ada apa? Kok tumben ke sini? Kemaren-kemaren bilangnya ogah..."
Gue mengangguk pelan. "Ada yang mau gue... aku omongin."
Entah sejak kapan gue jadi orang yang sungkan buat ngomong nyolot ke dia. Gue jadi sok pakai aku-kamu kayak dia. Gaya bicara gue juga sebenernya dulu nggak gini, kok! Ini karena pengaruh lingkungan aja. Kalau lagi dipelototin manja sama mama, gue juga ngomong pakai aku-kamu ke Mas Tedjo, kok!
"Ada apa?" Mas Tedjo tersenyum. Kacamata tebal dan bulatnya menganggu. Gue pengen ganti kacamata itu, tapi sayang banget kalau Mas Tedjo kehilangan sisi cupunya. Biar aja, biar gue ada bahan kalau lagi suntuk.
Buat alasan gue marah-marah misalnya. Ya ampun, Rami! Lo masih belum tobat juga, ya! Kenapa, sih lo seneng banget jahatin Mas Tedjo? Salah dia apa?
Iya, salah dia apa, ya?
Ng... karena dia terlahir ke dunia ini dan ketemu gue! Iya, itu salahnya! Kalau Mas Tedjo nggak terlahir ke dunia ini, atau minimal nggak ketemu gue... mungkin gue nggak baklaan jahatin dia. Tapi gimana lagi! Ini takdir yang harus gue jalani bareng Mas Tedjo. Dia terlahir jadi anak orang lain, tapi hidup sebagai kakak gue. Dan kalau emang dia dijahatin, anggap aja kisah hidupnya kayak Cinderella. Gue sebagai pihak antagonis!
![](https://img.wattpad.com/cover/119826104-288-k940935.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya... Mas Tedjo
Teen FictionGue nggak tahu, lho kalau akhirnya bisa punya saudara. Kali ini kisahnya lebih miris. Mirip di sinetron-sinetron tentang anak pungut yang akhirnya jadi pemeran protagonis lalu dianiaya. Tapi masalahnya... kenapa gue yang harus jadi pemeran antagonis...