Karena cinta yang berat akan selalu dalam...
Gue ngambek. Nggak mau ngomong apa pun ke Mas Tedjo. Bahkan gue nggak mau melihat mukanya pagi ini. Dengan tekad penuh kesombongan, gue berangkat sekolah sendiri tanpa mau dianterin. Bahkan gue sama sekali nggak mau nanya apa pun tentang Mas Tedjo. Mungkin kemaren gue emang keterlaluan, tapi gue bisa jelasin kenapa gue bisa berbuat kayak gitu. Gue pengen Mas Tedjo sembuh dari traumanya. Gue pengen Mas Tedjo bangkit dan nggak terpuruk gara-gara masa lalu. Apa gue salah kalau pengen berbuat baik? Lagian, gue jahat kan salah, baik juga salah sekarang!
Mending gue kayak dulu aja ke Mas Tedjo. Nggak peduli, cuek, kasar, ketus... dan segala hal yang menyangkut Mas Tedjo adalah sebuah larangan yang sangat berat.
"Kok tumben kamu udah berangkat?" Gauyan nongol mendadak di depan gue. Gue udah meletakkan kepala di atas bangku. Mata gue berat banget!
"Salah?" Gue sensi. Berangkat siang salah, berangkat pagi juga salah!
"Nggak, sih! Cuma tumben aja."
"Trus?"
"Aku tadi jemput ke rumah kamu. Kata Tante, kamu udah berangkat buru-buru sejak pagi. Pas aku tanya kenapa, Tante bilang nggak tahu."
Gue mengembuskan napas. Mama nggak tahu. Wajar, lah! Lagian juga Mas Tedjo nggak bakalan ikut campur. Sejak kemaren dia nggak mau keluar dari kamar. Papa sempat nanya ke gue, tapi gue bilang nggak tahu. Kalau kedua orang tua sampai tahu apa yang udah gue lakukan, apa mereka bakal ngomelin gue juga?
Ah, kalau kayak gitu jadi males balik, tahu!
"Tadi aku lihat mas kamu juga kayaknya lagi bingung."
Gue tertarik dengan topik ini, tapi gue pura-pura nggak peka dengan apa yang terjadi. Gue beneran nggak tahu apa-apa, Coy!
"Dia bingung gimana?" Gue berdehem.
"Ya bingung. Dia nanyain kamu ke Tante, trus dia kelihatan kelabakan gitu. Sebelum aku nanya lebih jauh, Mas Tedjo udah bawa motornya. Dia bahkan belum mandi."
Gue menelan ludah. Nggak tahu dia mau pergi ke mana. Gue nggak peduli, tapi gue penasaran. Ngapain dia keluar buru-buru nggak mandi dulu?
Lalu ingatan gue terarah pada kejadian tadi pagi. Gue sampai di sekolah terlalu pagi. Akhirnya gue harus rela nongkrong sebentar buat sarapan. Gue ngelamun di depan sekolah. Beberapa kali ada murid yang datang, tapi gue nggak memperhatikan mereka. HP gue mati. Gue nggak peduli apa yang terjadi di sana.
Yang penting gue nggak ketemu Mas Tedjo. Gue telanjur emosi gara-gara kejadian kemaren. Kalau dia marah, dia nggak perlu bentak-bentak gitu. Ah, mungkin ini karma, ya, Ram! Lo udah terlalu banyak bentak-bentak dia, jadi sekarang gilirannya! Lo udah nggak bisa bertingkah semau lo lagi! Sekarang dia jadi kayak gitu lo pikir gara-gara siapa?
"Ram, Rami! Woy!" Gauyan mengguncang lengan gue. Gue tersadar dan berdehem. "Kamu mikir apaan?"
"Nggak mikir apa-apa, kok!"
"Kamu lagi berantem sama Mas Tedjo?"
Kenapa nih cowok peka banget, sih?
"Ng... Nggak..."
"Tadi kayaknya Mas Tedjo ke sini. Soalnya pas aku sampe, aku papasan sama dia juga."
Gue melotot. "Hah?"
"Iya, kayaknya sih emang dia sengaja nyusul kamu. Kalian beneran lagi berantem, ya kayaknya?" Gauyan nanya lagi.
"Ng... Nggak..." Gue menggeleng cepat. Gugup juga.
"Kenapa kamu bohong?"
Kenapa Gauyan bisa melihat kebohongan yang ada dalam diri gue sejak dulu? Bahkan ketika gue sendiri pura-pura nggak tahu? Kenapa dia masih kayak yang dulu? Kalau dia gini terus, gue jadi mikir yang nggak-nggak tentang semua hal!
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya... Mas Tedjo
Novela JuvenilGue nggak tahu, lho kalau akhirnya bisa punya saudara. Kali ini kisahnya lebih miris. Mirip di sinetron-sinetron tentang anak pungut yang akhirnya jadi pemeran protagonis lalu dianiaya. Tapi masalahnya... kenapa gue yang harus jadi pemeran antagonis...