Bab 7. Main ke Warnet

3.2K 482 62
                                    

Jadi pihak antagonis pun nggak selalu jahat seratus persen.

Gue masih duduk nyaman di belakang Mas Tedjo. Cowok ini masih menyetir santai, nggak ada aura marah ataupun kesal karena udah dihina. Gue nggak paham sama cowok ini. Dia dihina tapi santai aja. Dia nggak mungkin masokis sejati! Nggak, nggak! Gue paling ogah lihat cowok yang kayak gitu! Nggak pemberani, nggak gentle, mau-mau aja disakiti! Nggak bisa diandalkan!

Gue masih manyun, sesekali menggerutu di jalan. Kayaknya dijemput Mas Tedjo adalah sebuah kesalahan. Meski gue sering banget menghina, tapi setelah tahu kenyataan dan kisah pahitnya, gue malah nggak tega kalau mau berbuat jahat ke cowok ini. Gue nggak bisa jadi antagonis lama-lama, ah!

"Jadi..." Mas Tedjo membuka suara. Gue diem aja. Nggak menyahut, nggak merespon, nggak dengerin.

"Dek..." Sekali lagi dia bersuara.

Gue masih pura-pura budeg. Gue nggak mau nambah dosa karena mendengar sejuta alasan masokis yang bakalan muncul dari mulut dia. Mas Tedjo menepi dan mematikan mesin.

"Jadi..." katanya.

"Kenapa berhenti?" Gue sensi. Mas Tedjo menoleh, menatap gue dan tersenyum pias.

"Mas nggak akan jalan sebelum kamu ngomong."

Gue mencoba buat nggak marah di sini. Ini jalanan, dan nggak etis kalau gue sakau di sini. Makanya, gue menahan diri sampai rumah. Nanti aja, baru gue adili cowok ini! Gue harus mengadili apa yang udah terjadi. Nggak, gue nggak mengadili penampilannya, tapi yang gue adili adalah sikapnya. Kenapa dia malah pasrah dan juga nggak marah?

Dia kan cowok!

Harusnya punya sedikit harga diri yang harus dia pertahankan. Apalagi di depan adiknya sendiri. Harusnya dia juga punya tingkat gengsi yang gede karena adiknya juga dipertaruhkan di sini. Ada dua kemungkinan dia nggak mau balik nyolot. Pertama, dia kan memang tipe orang yang nggak suka ribut. Kedua, dia nggak peduli sama apa yang gue rasakan!

Dua-duanya jelek!

"Kamu masih marah?" Dia nanya meski udah tahu jawabannya. Gue nggak marah, kok! Gue murka. Lo tahu, kan gimana rasanya pas pengen marah, tapi bingung harus marah ke siapa. Orang yang jadi sasaran malah korbannya.

Emang gue nggak ditakdirkan buat jadi orang baik sekarang ini! Gue harus mempertahankan sisi jahat gue kalau mau hidup di dunia yang kejam dan keras ini. Apalagi kalau gue harus dihadapkan sama cowok kayak Mas Tedjo. Entah kenapa dia itu selalu aja bahagia meski sifatnya masokis!

"Jadi..." Mas Tedjo mengambil napas berat. Matanya mengerjap dengan wajah nggak enak. Gue ikut mengembuskan napas, bete setengah hidup. Mas Tedjo masih bertingkah menyebalkan, mengabaikan semua yang membuatnya tersakiti.

Gue, nih yang terusik pada akhirnya! Kayaknya Mas Tedjo harus didapuk jadi duta sabar. Dia harus dapat apresiasi selain prestasinya. Dia harus dapat gelar mumpuni yang bikin orang di sekitarnya emosi.

"Jadi..." Mas Tedjo mengambil napas.

Gue masih membisu. Kalau gue ngomong sekarang, mungkin hanya emosi yang bakalan keluar. Jadi, gue memilih diem aja. Gue nggak mau disalahin lagi, ah! Mas Tedjo juga nggak salah apa-apa. Kesalahan dia adalah... karena dia ketemu gue. Iya, itu salahnya! Kalau kami nggak kenal, mungkin gue nggak akan jadi begini.

Dan gue akan jadi anak tunggal yang disayangi!

Boleh, boleh...

"Masih marah, nih, Dek?" Mas Tedjo memancing. Gue memalingkan wajah. Enggan gue kalau harus bahas yang tadi itu. Biarin itu berlalu! Gue harus adem dan juga damai. Gue butuh waktu kalau mau bahagia.

Namanya... Mas TedjoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang