Bab 6. Kemarahan dan Kepasrahan

3.1K 496 59
                                    

Marah dan pasrah adalah dua kata yang memuakkan.

Nyatanya, Mas Tedjo berhasil bikin rasa sungkan gue makin besar. Kalau di luar sana gue bisa ngomong seenaknya, di rumah gue malah merasa sungkan kalau melakukan hal serupa. Bahkan cara bicara gue berubah ke Mas Tedjo. Nggak ada kata lo-gue lagi. Yang ada malah aku-Mas. Gue jadi anak baik yang sering merasa nggak enak. Padahal dulu-dulu gue bandel banget kalau dilarang ngomong kasar ke Mas Tedjo.

Tanpa diperintah pun sekarang gue otomatis sungkan. Mungkin ini efek kejadian gue kepo dan datang ke panti asuhan waktu itu. Gue merasa bersalah karena udah jahat ke anak yatim piatu. Mungkin kalau main sinetron, gue adalah pemeran antagonis. Gue adalah saudara tiri Cinderella.

Iya, gue pasti sejahat itu!

"Ini, Kak. Aku nggak bisa nerima ini lagi..." Gue menemui Mbak Rista dan menyerahkan semua yang gue dapatkan dari dia. Cewek itu menatap gue kaget.

"Kok dibalikin?"

Gue menghela napas. "Kalau untuk kiriman pulsa, aku balikinnya kalau udah dapat uang nanti, ya! Meski Mas Tedjo bilang mau gantiin, tapi aku nggak mau membebani dia."

"Ng... Nggak perlu gini juga, Ram..."

Gue menggeleng untuk yang kesekian kalinya. Ini lebih baik daripada gue harus dibebani rasa bersalah. Mas Tedjo memang bilang kalau dia bakalan ganti pulsa yang udah Mbak Rista berikan ke gue, tapi gue nggak mau. Kan gue yang ngabisin, masa iya Mas Tedjo yang gantiin?

Meski gue sadar kalau gue kere, sih! Mana punya duit sebanyak itu gue kalau nggak nabung dulu?

Gue tersenyum, lalu melangkah pergi. Gue pulang. Mas Tedjo berdiri di belakang pintu, menyambut kedatangan gue dengan senyuman penuh arti.

"Udah?" tanyanya pelan.

Gue mengangguk.

"Nanti biar Mas yang gantiin, Dek."

Gue menggeleng. Gengsi, lah!

"Bilang aja berapa!" Mas Tedjo mendekat, mengguncang gue dengan serius. Gue merengut.

"Biar aku aja yang ganti! Kan aku yang pake."

"Bilang!" Mas Tedjo menatap gue serius. Kacamatanya agak buram. Mungkin gara-gara dia nggak pernah ganti kacamata. Padahal gue yakin duitnya lumayan banyak. Gajinya kan nggak sedikit. Mana perusahaannya terkenal banget gitu! Dan dia ada di posisi yang sangat lumayan!

Kalau beli kacamata aja nggak sanggup, itu pasti mustahil!

"Bilang, berapa?"

Gue menyebutkan nominalnya setelah gue hitung-hitung. Nggak terlewat sedikit pun. Mas Tedjo tersenyum puas, lalu mengangguk mantap.

"Biar Mas yang gantiin. Yang penting sekarang nggak perlu berurusan sama dia lagi. Kalau kamu butuh cemilan, biar Mas yang beliin. Ngomong, berapa pun harganya pasti Mas beliin!"

Kedengeran sombong banget, nggak, sih? Mentang-mentang cemilan gue seharga lepehan! Sayangnya gue bukan tipe orang yang suka minta-minta. Gue memasang harga diri tinggi banget di depan Mas Tedjo. Dia sering bikin gue iri, dan otomatis sekarang pun kalau ditanya butuh apa selalu mikir. Malu!

"Tapi, Mas..." Gue menghela napas. Mas Tedjo mengelus kepala gue lembut.

"Jangan kayak gini lagi!"

Gue menghela napas dan mengangguk. Dengan alasan apa pun, gue janji nggak akan pernah mau berhubungan dengan Mbak Rista lagi. Meski cewek itu dengan terang-terangan naksir Mas Tejdo, tapi gue nggak boleh memberinya akses.

Mas Tedjo sendiri yang nggak mau.

Cukuplah gue jahat ke Mas Tedjo selama sekian tahun. Sekarang ini gue mau tobat, nggak mau jahatin Mas Tedjo lagi! Gue harus berubah. Mas Tedjo orang baik!

Namanya... Mas TedjoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang