Sabar itu susah karena hadiahnya surga. Kalau mudah, hadiahnya piring. Beli aja kecap!
Gue masih menatap tiga cowok SMA yang masih pakai seragam itu di depan gue. Mama menyuruh mereka masuk, bahkan menyuguhkan cemilan dan juga teh ke mereka. Mama gue emang dari dulu gitu. Semua tamu dianggap baik. Mau tamu sales, orang mau minjem duit, bahkan wali murid yang mau konsul masalah nilai anaknya juga selalu disuguhi minum. Adat bertamu katanya. Soalnya papa gue orang Jawa tulen yang masih menganut adat kental seperti itu. Mama ketularan pada akhirnya.
"Trus kalian semua mau apa ke sini?" Gue menginterogasi. Biarlah gue dibilang jago kandang. Ini rumah gue dan seharusnya gue pemberani di sini.
"Mau minta maaf..."
Gue menaikkan alis. "Mau minta maaf sama mas-mas yang kalian minta duitnya kemaren?"
Mereka menggeleng kompak, bahkan kelewat cepat. Keliatan banget kalau mereka nggak mau minta maaf sama Mas Tedjo. Kan mereka bersalahnya ke Mas Tedjo, bukan ke gue. Duit yang mereka minta juga duit Mas Tedjo.
"Trus kalian ke sini mau minta maaf sama siapa?" Gue masih menginterogasi. Mama masuk ke dalam, nggak mau nunggu anak perawannya menginterogasi cowok-cowok SMA. Mama bilang itu privasi, tapi kan... kan... masa iya cewek menghadapi tiga orang cowok yang penampilannya preman gini?
Emangnya gue punya urusan apa sama mereka? Kenal juga nggak. Tahu aja karena kecelakaan.
"Sama kamu..." Salah satu dari mereka berbisik pelan. Gue makin nggak paham.
"Kenapa sama gue?" Gue mulai kesel. Tumbuh di lingkungan yang campur emang susah. Apalagi ajaran dari dua orang di rumah gue sangat bertolak belakang. Mama bilang gue harus berani. Emansipasi namanya.
Papa bilang gue harus penuh dengan kelembutan dan sopan santun. Cewek katanya.
Nah, sampai di sini gue bingung harus menerapkan prinsip dan pesan yang mana! Gue menghela napas dan akhirnya menatap wajah mereka sekali lagi.
"Salah apa yang kalian bikin ke gue? Kalian bilang kalian udah kurang ajar, kan? Orang yang jadi korban sebenernya kan mas-mas culun itu..."
"Dia nggak culun..." Mereka saling senggol. Gue melongo nggak ngerti. Mereka datang dengan alasan mau minta maaf karena udah kurang ajar. Gue bingung harus gimana sekarang.
"Terserah, lah! Jadi... kalian minta maaf ke gue karena apa?"
"Kami udah berani nyolek kamu..."
Gue merasa jadi ratu sekarang. Gue melongo karena mereka datang dengan gentle, bahkan meski wajah mereka bonyok-bonyok kayak gini. Mas Tedjo tiba-tiba keluar dari kamarnya sambil menggaruk perut. Mas Tedjo menatap gue, mengerjap dengan wajah enggan. Gue menaikkan alis, lalu tersenyum licik.
"Tuh mas-mas yang udah kalian jahatin! Nggak mau minta maaf sama di..."
Tiga orang cowok itu bangkit spontan, melompat cepat menghampiri Mas Tedjo. Dalam sekejap mereka berlutut. Gue melotot sempurna. Ini apa-apaan? Bahkan gue sempat denger salah satu dari mereka melakukan sujud yang mencurigakan.
"Maafin kami, Mas Tedjo!" katanya.
Gue nggak bisa ngakak meski adegan di depan gue rada miris buat dilihat. Gue nggak ada nafsu untuk menertawakan keanehan ini karena orang yang berdiri itu jauh lebih aneh. Mas Tedjo tersenyum, berjongkok, lalu menepuk bahu mereka satu-persatu.
"Kalian udah tahu, kan kalau perbuatan kemaren itu termasuk pelecehan?" tanyanya sambil tersenyum lembut. Gue gagal paham, sumpah!
"Kami tahu, Mas!" Mereka kembali menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya... Mas Tedjo
Novela JuvenilGue nggak tahu, lho kalau akhirnya bisa punya saudara. Kali ini kisahnya lebih miris. Mirip di sinetron-sinetron tentang anak pungut yang akhirnya jadi pemeran protagonis lalu dianiaya. Tapi masalahnya... kenapa gue yang harus jadi pemeran antagonis...