Bab 1. Dia... Mas Tedjo

8.6K 675 82
                                    

Terkadang gue harus melepaskan daun yang melekat pada dahannya.

Gue menghela napas lelah. Berat. Beban gue mulai bertambah seiring berjalannya waktu. Gue nggak mau begini, tapi gimana lagi! Beban fisik mungkin bisa dikurangi, tapi beban hati belum tentu. Gue bukan cewek manja, tapi sekarang gue bener-bener sampai di batas kesabaran gue sebagai seorang manusia. Gue juga punya hati. Dan kalau memang pengen dijadikan guyonan seperti di internet, maka gue pengen mengatakan kalau gue cewek. Ingat, pasal satu ayat satu kata mereka! Cewek selalu bener.

Halah, dusta!

Itu sama sekali nggak bener! Gue nggak mungkin selalu bener di rumah ini. Gue selalu salah. Apa pun yang gue lakukan, selalu aja punya tingkat resiko yang tinggi. Salah satunya adalah diomeli. Itu masih mending. Paling nyebelin adalah... dibandingkan. Kalau dibandingkan dengan orang yang lebih buruk, mungkin gue akan bahagia dan juga legowo. Artinya gue orang baik! Hanya saja... semua itu mustahil! Gue dibandingkan dengan kebaikan, tapi gue adalah sudut keburukannya.

Gue bisa apa sekarang selain berpikir terbuka dan rasional? Gue juga pengen bertingkah baik-baik saja sementara mereka nggak pernah berpikiran terbuka kalau gue juga pengen dihargai. Gue cewek, hati gue lembut. Ah, maaf, ya! Gue sedikit berdusta. Gue memang cewek, tapi hati gue mungkin sudah kaku dan beku. Banyak hal yang membuat hati gue jadi sekeras itu.

Salah satunya adalah karena DIA!

"Ram, belikan bakso buat masmu, ya! Kasihan, dari tadi siang dia belum makan." Seperti biasa, Mama muncul ke kamar gue hanya untuk minta tolong. Minta tolongnya juga tentang dia lagi, dia lagi!

"Males, Ma." Dan gue juga jadi anak durhaka karena cowok itu.

"Kok males? Sana beliin!"

Gue merengut. "Nggak bisa beli sendiri dia?"

"Masmu lagi bantuin Papa benerin pipa, tuh!"

Gue merengut dalam hati. Kayaknya banyak banget hal yang gue benci di rumah ini. Terutama karena Mama lebih seneng bawa topik tentang 'masmu' itu! Kenapa harus menggunakan kata sedemikian rupa kalau kenyataannya adalah 'anak kesayanganku'? Salah gue apa, Pemirsa?

Gue pantas membenci cowok itu! 'Masmu' katanya! Halah!

Gue berdiri, lantas melangkah cepat sedikit menghentak. Gue anak durhaka, tapi gue punya alasannya. Kalau kalian jadi gue, mungkin kalian juga bisa merasakan hal yang sama. Kalau nggak, mungkin hati kalian lumayan bebal! Akan gue ceritakan sebuah kisah tentang gue dan juga seseorang yang Mama panggil dengan sebutan 'masmu' itu...

Namanya Mas Tedjo.

Cukup ndeso, memang. Keluarga gue bercampur dari berbagai suku. Kebetulan gue menganut banyak budaya di rumah ini. Dan tentu saja, yang paling ikonik di sini adalah nama cowok itu. Cowok setengah matang yang sebentar lagi akan jadi pria, yang disebut Mama dengan sebutan 'masmu', yang selalu dibanggakan di antara anak tetangga...

Dia adalah anak kesayangan kedua orang tua gue. Kalau anak emas diidentikkan dengan anak yang paling dicintai, maka Mas Tedjo adalah anak berlian. Dia adalah anak yang super dicintai. Gue lelah melihat adegan bawang di depan mata gue tiap kali mereka memuji Mas Tedjo. Mama menangis, terharu. Ayah mengangguk-angguk, tersenyum, lalu menepuk bahu Mas Tedjo bangga.

Sedangkan gue?

Gue selalu dibandingkan dengan Mas Tedjo. Gue selalu jadi contoh kegagalan dan juga keburukan. Mungkin sperma yang sampai di rahim Mama dulu adalah kualitas yang nggak mumpuni, jadi gue terlahir. Gue adalah contoh kegagalan sperma yang nggak berkualitas. Kalau Mas Tedjo bosan dengan pujian, gue malah muak dengan omelan. Selalu saja ada yang salah tentang gue di mata kedua orang tua gue. Gue tahu apa salah gue, jadi gue selalu bertingkah nyebelin dan pura-pura nggak tahu.

Namanya... Mas TedjoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang