Kalau lo mau dianggap manusia, lo harus punya jiwa egois sedikit aja!
Mas Tedjo yang penurut dan juga cerminan anak berbakti itu nggak sekali dua kali bikin gue muak. Murka juga. Gue udah hidup selama sekian tahun dan berharap nggak akan menemukan orang yang kayak Mas Tedjo lagi kalau reinkarnasi nanti. Gue mau diciptakan sebagai debu aja, lah! Nggak mau lagi jadi cewek yang punya kakak macam cowok itu. Gue sering bertingkah jahat ke dia, tapi seperti biasanya... gue selalu kebagian sialnya. Padahal di sinetron, kalau lo berbuat jahat... paling nggak lo bakal nemu satu keuntungan. Minimal satu, lah! Karena orang jahat di sinetron digambarkan sebagai orang serakah yang sama sekali nggak ada baik-baiknya.
"Tadi berangkat sama siapa?" Fero nongol di depan gue, lengkap dengan buku-buku tebal yang bisa buat melempar muka Mas Tedjo.
Gue udah biasa lihat buku begituan di rumah, jadi nggak bakalan shock kalau lihat ukurannya. Palingan benda itu selalu punya kegunaan lain. Sebagai pengganjal pintu kalau gue lagi pengen nonton TV dari kamar tapi nggak mau pintu kamar nutup tiba-tiba. Kamar gue terlalu miskin, jadi nggak bisa diberi TV macam itu.
"Bis..."
"Gue lihat lo di terminal..." katanya. Gue menelan ludah.
"Trus?"
"Lo turun dari motor. Sama siapa, tuh?"
Gue bersyukur hari ini Mas Tedjo pakai helm yang kacanya nggak terlalu bening. Jadi kalau ditanya, gue bisa jawab kalau itu tukang ojek.
"Tukang ojek."
"Kok nggak sekalian dianterin sampe sekolah? Kan sekalian gitu! Malah naik bis lagi. Nambah ongkos lagi, kan?"
Perasaan gue nggak enak.
"Soalnya tukang ojeknya lagi buru-buru." Gue menjawab asal. Fero menautkan alisnya, lalu meletakkan kitab setebal batu bata itu di atas bangku gue. Dia menatap gue, memegang kedua bahu gue, lalu mengembuskan napas.
"Gue tahu apa yang terjadi sebenarnya."
Nah, perasaan nggak enak ini makin menyiksa!
"Apaan?"
"Sebenernya... sebenernya tuh bukan tukang ojek, kan?"
Gue menelan ludah gugup. Fero menyentil dahi gue, lalu tergelak geli. Dia menggeleng pelan dan mengembuskan napas. Dia masih ngakak nggak jelas, lalu akhirnya menatap gue serius.
"Iya, gue tahu, kali kalau itu tukang ojek! Celananya aja lusuh gitu, pake celana olahraga dan jaket tebel kayak manusia pegunungan."
Ini salah satu alasan kenapa gue ogah deketan sama Mas Tedjo. Orang-orang sering banget salah paham ke gue. Tampilannya yang lusuh dan juga terlihat jarang mandi itu bikin gue malu setengah mati. Padahal badannya lumayan bagus. Nggak gendut, nggak kurus ceking juga. Ototnya juga mulai terbentuk gara-gara hobinya yang aneh, yang suka bantu tetangga menggali tanah untuk kuburan baru.
Iya, dia itu aneh!
"Hahaha..." Dan dengan gobloknya gue malah ketawa canggung. Bisa gawat kalau Fero tahu siapa sebenernya cowok lusuh tukang ojek manusia pegunungan yang dia maksud itu. Gue belum siap memperkenalkan Mas Tedjo ke temen-temen deket gue, meskipun mereka pernah sesekali main ke rumah gue.
Itu juga gue harus mempersiapkan banyak hal. Misalnya mengusir Mas Tedjo sementara waktu, melepas semua foto-foto biadab pamer yang nangkring di tembok-tembok rumah, dan menyisakan foto-foto masa kecil kami, ketika Mas Tedjo masih dianggap anak normal.
Fero juga pernah datang ke rumah gue untuk kerja kelompok dan sempat memuji foto masa kecil Mas Tedjo. Katanya unyu, kalau gede pasti ganteng. Sumpah, gue cewek baik, ya! Jadi, gue nggak mau menghancurkan fantasi cewek lain! Takut kalau mereka sakau dan akhirnya kejang-kejang sampai berbusa karena ekspektasi mereka nggak menjadi kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya... Mas Tedjo
Teen FictionGue nggak tahu, lho kalau akhirnya bisa punya saudara. Kali ini kisahnya lebih miris. Mirip di sinetron-sinetron tentang anak pungut yang akhirnya jadi pemeran protagonis lalu dianiaya. Tapi masalahnya... kenapa gue yang harus jadi pemeran antagonis...