Suara jeritan di lantai bawah membuat aku seketika terjaga. Ampun deh, hidup kok susah banget mau istirahat aja! Nggak tahu apa aku baru tidur jam enam pagi!! Aku sempat melirik ke jam dinding, baru jam sebelas siang, dan artinya aku baru tidur lima jam!Suara jeritan kembali terdengar. Akhirnya aku memaksa diriku untuk bangkit dari tempat tidur. Aku harus tahu siapa yang membuat keributan di siang bolong begini. Kuraih jubah mandi untuk menutupi pakaian alakadarnya yang kupakai untuk tidur.
"Ada apaan sih?!! Nggak tahu orang lagi tidur apa!!" omelku setelah membuka pintu kamar.
"Jen! Sini! Buruan!" jerit Haidy.
"Apaan sih?" Aku turun secepat yang aku bisa.
Kantuk yang masih menyergap dan efek dari alkohol yang kuminum tadi malam membuat motorikku agak melambat, jadi aku harus berhati-hati saat menyusuri tangga. Aku melihat Loreta yang sedang menangis sambil menelepon. Haidy, yang tadi memanggilku turun, sedang berkacak pingang menghadapnya, sedangkan Angel dan Kelly duduk di samping Loreta sambil mengusap-usap pungungnya.
"Ada apa sih, Dy?" tanyaku pada perempuan berambut pirang yang hanya menggunakan kaos dan G-string itu.
"Bapaknya Reta mati," ucap Haidy enteng. "Katanya dibegal."
"Serius lo? Terus itu Reta lagi telepon siapa? Emaknya di kampung?" tanyaku lagi.
"Udah tadi, makanya dia histeris. Ini lagi coba telepon Mami, mau minta izin pulang kampung katanya," jawab Haidy sambil menyulut rokok menthol-nya.
Aku menghela napas berat. Jujur saja, aku terbagi antara khawatir dengan keadaan Loreta dan kesal karena waktu tidurku terganggu.
"Tunggu, Mam," ucap Loreta pada Mami di seberang telepon sebelum kemudian menanyaiku, "Jen, lo bisa gantiin aku nggak nanti di ruang VIP B?"
"Hmm... tamunya siapa?"
"Mark. Yang bule itu loh, langanan gue. Please lah, gue harus pulang kampung, kata Mami gue boleh pulang kalau lo yang gantiin gue urus Mark." Tatapan iba Loreta dengan mata yang bengkak membuat aku tak kuasa menolaknya.
"Ya udah," ujarku mengiyakan.
"Jennifer mau katanya, Mam." Loreta kembali bicara dengan Mami di ujung telepon.
Aku menguap lebar dan meninggalkan Loreta bersama Angel dan Kelly. Aku menyusul Haidy yang sedang duduk di teras belakang rumah.
"Bagi sebatang ya, rokok gue di atas," ucapku pada Haidy sambil mengambil bungkus rokoknya di meja.
Dia hanya mengangguk sambil menenggak bir dari kaleng.
"Masih siang bolong udah ngebir aja lo, nggak ada eneknya sama gituan," sindirku.
"Bawel lo! Eh, ntar kalau Mark minta lo plus one, ajak gue ya, kali aja dia sama Frans."
"Lo masih tergila-gila aja sama tuh bule, kan lo punya cowok," ucapku.
"Anjir, his head game is beyond! Belom lagi kontinya yang ukurannya di atas rata-rata orang kita. Coba kalau Frans mau beneran sama gue, rela kok gue ngebuang si Jojo." Tawa Haidy meledak.
Aku hanya bisa mengangkat bahu sambal berjalan meninggalkannya. Aku tak yakin kalau Haidy akan semudah itu membuang pacarnya. Yah, walaupun Jojo bukan cowok yang terlalu ganteng atau terlalu kaya, paling tidak dia menyanyangi Haidy dan tidak memanfaatkannya. Jojo yang polos itu bahkan tidak benar-benar tahu kalau Haidy, dan juga semua perempuan yang tinggal di rumah ini, adalah penari striptease. Jojo mengira rumah ini adalah kost-kostan cewek normal, padahal kami semua jauh dari kata normal.
Aku menyesap rokok dalam-dalam dan menghembuskan kepulan asap putih. Kemudian aku melangkah kembali ke kamar. Sepertinya hari ini aku harus pasrah dengan kondisi kurang tidur. Mungkin sebaiknya aku berolah raga sedikit agar performaku nanti malam tetap sebaik biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
They Call Me a Hoe
General Fiction--- CERITA DEWASA --- Namaku Indah Puspita, tapi Mami bilang nama itu kampungan, jadi dia mengganti namaku menjadi Jennifer. Selain aku, ada pula Angel, Loreta, Kelly dan Haidy yang tinggal di rumah Mami. Tadinya aku datang ke Jakarta untuk menjadi...