"Kamu kenapa?" tanya Mark."Nggak apa-apa," sahutku sambil mengaduk makanan yang ada di hadapanku.
Sereal yang kini sudah tak lagi berbentuk itu sama sekali tidak menarik untuk dimakan. Lagi pula aku juga bukan orang yang terbiasa makan sereal untuk sarapan. Sarapan bagiku itu nasi uduk, ketupat sayur, atau minumal bubur ayam lah.
"Kamu sakit?"
"Enggak"
Aku menyuap sereal dengan terpaksa. Minimal Mark akan diam dan tidak lagi bertanya tentang kondisiku, karena pertanyaannya kemarin sudah cukup membuatku pusing. Meskipun sepertinya Mark tak menyadari bahwa dalam kantuk dia melamarku. Mungkin memang itu hanya efek samping dari kantuknya, atau dia cuma ngigo.
Tanpa perlu menatapnya aku tahu bahwa dia akan segera membuka mulut lagi untuk bertanya. Namun, bunyi ponsel membuat Mark terdistraksi. Ia mengangkat telepon sambil melangkah ke balkon. Saved by the bell!
Aku cepat-capet menghabiskan sisa sereal yang masih ada di mangkok dan meninggalkan ruang makan. Tak cukup dengan menjauh, aku memilih untuk masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Semoga saja setelah aku selesai mandi Mark sudah berangkat ke kantor.
Kunyalakan keran untuk mengisi bathtub, tak lupa memasukan sabun agar wanginya memenuhi ruangan. Aku butuh segala yang dapat membuatku membuang jauh-jauh pikiran tentang Mark, wangi tubuhnya, rasa dirinya, dan pertanyaan aneh yang membuatku tak bisa tidur semalaman.
Apakah mungkin Mark memintaku menikah dengannya? Bukankah dia bisa memilih siapa saja untuk menjadi pendampingnya? Kenapa harus aku?
Aku menghabiskan waktu yang teramat lama demi memastikan bahwa Mark sudah pergi saat aku keluar dari kamar mandi. Benar saja, saat aku keluar dari kamar mandi tak ada suara yang terdengar di luar kamar.
Jam di nakas menunjukan waktu pukul delapan. Wajar saja jika Mark sudah lama pergi. Meski Mark adalah pemilik perusahaannya tapi dia tidak pernah semena-mena soal waktu. Mark selalu datang tepat waktu untuk semua janjinya, termasuk urusan masuk kantor.
Aku mengambil sepasang dalaman merah, kaus putih, dan sweetpants abu-abu kesukaanku. Setelah menyisir dan mengikat rambut, aku keluar dari kamar.
Niatku untuk duduk di depan TV dan menikmati serial-serial hollywood favorit sepanjang hari buyar setelah melihat Asti sedang menyajikan minuman kepada perempuan tua yang penampilannya luar biasa anggun. Sayangnya mereka berdua terlanjur melihatku sebelum aku mampu bersembunyi kembali ke dalam kamar.
"Akhirnya!" ucap perempuan itu dengan nada angkuh. "Mari, silakan duduk, Indah."
Jantungku berpacu. Terlapak tanganku juga seketika langsung berkeringat. Aku memang tidak mengenal Perempuan itu. Tapi penampilan dan cara bicaranya membuat nyaliku sedikit ciut. Mau tak mau aku beringsut mendekat sofa, kemudian duduk sejauh mungkin dari jangkauannya.
"Saya Silvia Doyle. Dan kedatangan saya hari ini menemui kamu adalah untuk meminta kamu menjauh dari hidup putra saya."
Jantungku yang sedari tadi sudah berdegup terlalu cepat kini rasanya pindah ke perut. Aku mual. Bibirkupun seolah terkunci rapat.
"Apa yang kamu inginkan sebagai ganti dari kehidupan putra saya?"
Mata perempuan itu menatapku dengan tajam. Detik berlalu terlalu lambat. Kesunyian yang ada juga teramat menganggu.
"Aku ... Saya ...," ucapku terbata. "Saya tidak mengerti maksud Anda."
"Mark berniat menikahimu. Saya menduga dia sudah melamarmu. Tapi Mark seharusnya menikah dengan Adriana, dan kehadiran kamu mengacaukan semua rencana yang sudah dibuat sejak bertahun-tahun lalu. Karena itu saya berbaik hati menawarkan imbalan agar kamu meninggalkan Mark."
"Saya tidak akan menikah dengan Mark," ucapku hati-hati.
"Oh itu sudah tentu! Mark tentu tidak bisa menikahi seorang pelacur yang dijual oleh orang tuanya sendiri. Itu akan merusak reputasi dan bisnisnya. Tapi saya tahu kamu punya maksud tertentu dengan mendekati putra saya."
Perempuan itu memandangku dengan cara yang akan membuat siapa saja bergidik. Bahkan meski ia sedang meminum teh yang tadi disuguhkan Asti tetap tidak membuatnya sedikit lebih ramah.
"Sebaiknya Nyonya bicara dengan Mark. Saya sama sekali tidak memiliki niat apapun. Saya juga akan dengan senang hati meninggalkan tempat ini dan Mark," terangku.
"Berapa imbalan untuk semua itu?" ulangnya.
"Anda tidak perlu repot-repot memberikan saya imbalan. Saya akan pergi secepatnya," ucapku.
Perempuan itu mengangguk sebelum meletakan cangkir teh. Dia kemudian menggapai tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat.
"Seharusnya ini cukup untuk kamu mengurus semua urusanmu dan menjauh dari hidup putra saya."
Tanpa banyak kata lagi perempuan itu beranjak pergi, meninggalkan aku dengan pertanyaan yang terlalu banyak dan entah di mana harus kucari jawabannya.
"Asti!" seruku cepat.
"Ya, Kak?"
"Kamu jangan bilang sama Mark kalau ibunya datang," ucapku. "Tolong belikan saya pembalut di mall seberang."
"Tapi bukannya stok pembalut di kamar mandi Kakak masih ada?"
"Jangan banyak tanya. Ini demi kebaikan kamu sendiri," kataku.
Gadis itu mengangguk dan segera pergi. Sedangkan otakku masih belum mampu memroses semua yang baru saja terjadi.
Satu yang pasti, aku harus pergi sebelum Asti kembali dan menjadi saksi mata kepergianku. Aku juga harus memastikan bahwa Mark tak akan bisa menemukanku lagi.
Sudah cukup penderitaanku saat harus menjadi penari stripteases dan pelacur di club demi membayar hutang-hutang orang tuaku. Tak perlu tambahan drama lain di hidupku dengan keberadaan Mark dan Ibunya yang seperti nenek sihir itu.
--------------------------
Hai readers, It's been so long. Maaf karena sudah menghilang terlalu lama.
Semoga ini bisa jadi sedikit hiburan untuk kalian semua.
Dan semoga masih ada yang akan nungguin lanjutan cerita ini.
XOXO,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
They Call Me a Hoe
General Fiction--- CERITA DEWASA --- Namaku Indah Puspita, tapi Mami bilang nama itu kampungan, jadi dia mengganti namaku menjadi Jennifer. Selain aku, ada pula Angel, Loreta, Kelly dan Haidy yang tinggal di rumah Mami. Tadinya aku datang ke Jakarta untuk menjadi...