“Saya tinggal ya, Mbak. Malau ada apa-apa hubungi saya saja di nomer ini.” Pria setengah tua itu menyerahkan secarik kertas sebelum meninggalkanku di depan pintu yang terbuka.Aku hanya mengangguk sekilas karena sibuk memandangu ruangan besar yang baru saja kusewa. Selain rumah Mami yang dulu kutinggali bersama para penari stripteases, dan apartemen Mark yang baru saja kutinggalkan, aku tak pernah mengenal kehidupan mewah. Rumahku di kampung barang kali hanya setengah ukuran apartemen Mark. Kalau ada yang kentut di ruang depan, dijamin baunya sampai ke segala penjuru rumah. Padahal aku tinggal beraama kedua orang tuaku dan dua adik laki-lakiku. Lima orang di rumah yang hanya sedikit lebih besar dari kandang ayam Pak Lurah itu harus berbagi tempat untuk segala kegiatan sehari-hari kami. Entah aku harus sedih karena dijual demi melunasi hutang bapakku atau malah merasa lega karena bisa menikmati hidup yang lebih layak.
Aku menutup pintu dan meletakan koperku sembarangan. Ada perasaan lega seolah baru saja terlepas dari segala yang mengikatku selama beberapa tahun belakangan ini.
Aku tak lagi bekerja untuk Mami sebagai penari telanjang di clubnya. Hutang bapakku sudah dilunasi oleh Mark, bahkan aku juga beberapa kali menyetorkan uang pada Mami, termasuk pagi tadi sebelum mencari tempat tinggal baru untukku. Sedangkan Mark, anggap saja aku sudah tak ada hubungan dengannya. Ibunya menginginkan aku pergi membawa uang yang ditinggalkannya di dalam amplop, menghilang dari kehidupan Mark. Dan itulah yang sedang aku lakukan saat ini.
Segepok uang pecahan seratus dolar yang ada di amplop itu membuatku melongo. Belum pernah aku memiliki uang sebanyak itu sebagai pengganti apapun yang kumiliki. Bahkan tak juga sebagai bayaran atas pekerjaanku. Gajiku di tempat Mami hanya satu juta rupiah, menurut Mami itu adalah jumlah yang pantas dan cukup karena sisanya —yang entah berapa jumlahnya— adalah cicilan hutang Bapak. Kalaupun aku dapat tip dari para pelangganku nilainya pun hanya beberapa ratus ribu. Aku bukan pelacur kelas atas yang berpenghasilan jutaan untuk sekali ngangkang. Aku hanya penari telanjang yang kadang dimintai pelayanan ekstra di atas tempat tidur. Hanya Mark yang memberikan banyak uang, pakaian, dan perhiasan untukku.
Semua uang yang kukumpulkan dari pemberian Mark, ditambah uang ‘pesangon’ yang diberikan oleh Nyonya Doyle itu seharusnya cukup untuk memulai hidup baru. Aku hanya perlu memutar otak demi menghasilkan uang tanpa perlu menari telanjang ataupun menemani pria hidung belang melepas nafsunya.
Mungkin aku bisa buka online shop seperti orang-orang lain. Entahlah, aku perlu waktu untuk memikirkan langkahku ke depan nantinya.
Aku duduk di sofa yang terletak di dekat jendela. Apartemen yang kusewa ini sudah lengkap dengan segala perabotnya, aku hanya perlu sedikit menambah isinya agar tempat ini layak disebut rumah. Beberapa piring dan gelas, alat memasak, alat makan, dan mungkin beberapa sprei untuk tempat tidurku. Mungkin nanti aku akan turun ke mall yang terhubung langsung dengan salah satu lift di sisi gedung apartemen ini untuk membeli semua itu. Namun, sekarang aku hanya ingin menikmati kesendirian, ketenangan, dan kebebasan yanh telah lama hipang dari hidupku.
Aku memandang langit Jakarta yang butek seperti biasanya. Awan mendung menggelayut, menambah kusam pemandangan hari ini. Dan entah mengapa air mata menetes di pipiku.
Sedihkah aku?
Bukankah ini adalah awal hidup baru yang seharusnya aku syukuri?
KAMU SEDANG MEMBACA
They Call Me a Hoe
General Fiction--- CERITA DEWASA --- Namaku Indah Puspita, tapi Mami bilang nama itu kampungan, jadi dia mengganti namaku menjadi Jennifer. Selain aku, ada pula Angel, Loreta, Kelly dan Haidy yang tinggal di rumah Mami. Tadinya aku datang ke Jakarta untuk menjadi...