Sepertinya pergi dari apartemen Mark adalah sebuah kebodohanku yang sudah kelewat batas.
Oke, mari aku perjelas. Aku memang sudah dewasa, maksudku KTPku saja sudah diterbitkan beberapa tahun lalu. Di usia yang sudah kepala dua ini tentu aku bisa saja melakukan ini dan itu sendirian. Tapi Jakarta bukan rumahku. Jakarta yang aku tahu hanya rumah Mami, club, beberapa hotel yang pernah aku inapi dan apartemen Mark. Lalu sekarang aku harus tinggal sendirian, mengurus segala keperluanku sendiri, bahkan aku harus masak sendiri untuk berhemat.
Aku tidak bisa masak! Ya kalau hanya mie instant sih bisa, tapi aku kan nggak mungkin makan mie instant tiga kali sehari, bisa makin keriting usus-ususku!
"Mbak." Seseorang nenepuk pundakku.
"Hah?"
"Mau turun di lantai berapa?" tanya pria dengan wajah bingung yang entah sudah berapa lama menatapku.
"Oh, saya turun di lantai satu. Mau ke mal," jawabku buru-buru.
Hidup ternyata bisa sesepi ini. Setelah pergi menjauh dari kehiduapan lamaku, juga dari Mark, rasanya aku seperti mengawang. Tak ada apapun yang mengikatku untuk berpijak di bumi. Tak ada sesuatu yang membuatku bergairah untuk melakukan sesuatu. Jam seakan berlalu meninggalkanku dalam kebosanan. Yang bisa kulakukan hanya menonton tv di apartemen, memandangi jalanan dari jendela, atau berkeliling mal yang kebetulan terkoneksi langsung dengan apartemen yang kini kutinggali. Satu-satunya yang menyenangkan adalah karena tak ada yang bisa mengangguku, bahkan segala ketakutanku sudah lama lenyap.
“Sudah lama tinggal di sini, Mbak? Sepertinya saya baru lihat.” Pria yang bersamaku di dalam lift ini sepertinya adalah gangguan pertama yang kutemui sejak menapaki kehidupan baru.
“Baru beberapa hari, Mas. Mas tinggal di gedung ini juga atau tamu?” tanyaku balas berbasa-basi.
“Saya tinggal di lantai 17,” jawabnya disertai senyum ramah.
Garis rahang tegas dan kulitnya yang kecokelatan sudah tentu mempesona. Dengan bumbu senyum sebaik itu pastinya membuat dia penakluk wanita.
“Oh,” sahutku.
“Kerja di mana, Mbak?”
Aku mengangkat alis, “Oh, saya freelance, Mas,” jawabku asal.
“Enak dong ya bisa bebas mengatur jam kerja,” imbuhnya. “Di bidang apa?”
“Hiburan.”
“Hmm... menarik,” pujinya. “Saya Abra.” Pria itu mengulurkan tangannya.
“Indah,” jawabku menyambut tangannya.
Dia kembali melempar senyum yang mempesona.
“Kalau butuh apapun, datang saja ke apartemen saya, nomer 1709. Kamu tinggal di lantai yang sama, kan?”
Aku mengangguk. “1717.”
Lift berhenti di lantai 5, disusul dengan masuknya segerombol manusia, yang kemungkinan adalah sebuah keluarga besar, yang membuat perbincanganku dengan pria bernama Abra itu berakhir. Hingga sampai di lantai 1 aku hanya sempat melempar senyum kepadanya sebelum turun. Sedangkan dia melanjutkan perjalanannya dengan lift.
Tak ada salahnya punya kenalan tetangga. Mungkin suatu hari nanti aku memang akan membutuhkan bantuannya. Meski bisa saja serentetan pembicaraan tadi hanya basa-basi yang biasa ia lakukan dengan semua perempuan yang ditemuinya.
Ah... Apa peduliku. Yang aku butuhkan sekarang adalah sepiring nasi atau semangkok bakmi demi memuaskan hasrat para cacing di dalam perutku yang sudah berdemo minta jatah.
Lagi-lagi aku kembali teringat pada kemungkinan untuk mulai memasak sendiri untuk berhemat. Mungkin nanti aku harus mampir ke supermarket untuk membeli beras dan rice cooker, juga penggorengan dan panci kecil. Sekarton telur dan sekerdus mie instan juga bisa jadi penolongku di saat-saat genting. Tapi, belanja sendirian dan harus membawanya ke lantai 17 sepertinya akan sangat merepotkan. Barangkali aku harus naik turun beberapa kali demi mendapatkan segala kebutuhan dapur, atau lain waktu aku bisa saja memanfaatkan kebaikan Abra untuk membantuku berbelanja beberapa kebutuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
They Call Me a Hoe
General Fiction--- CERITA DEWASA --- Namaku Indah Puspita, tapi Mami bilang nama itu kampungan, jadi dia mengganti namaku menjadi Jennifer. Selain aku, ada pula Angel, Loreta, Kelly dan Haidy yang tinggal di rumah Mami. Tadinya aku datang ke Jakarta untuk menjadi...