Melbourne, April 2022.
Gumpalan awan hitam membungkus kota metropolitan ini di pagi hari. Semilir angin penghujung musim semi mulai dirasakan seorang gadis berusia dua puluh dua tahun. Surai panjangnya tertitup angin bersamaan dengan dedaunan yang jatuh menimpa tanah.
Sebuah buku kecil berwarna cantik dengan hiasan pita di atasnya digenggam erat oleh sang pemilik. Matanya yang indah menatap lurus kearah sepasang adik-kakak yang sedang asik bermain bersama daun di atas tanah.
Detik berikutnya, sang gadis menuliskan sesuatu di atas kertas polos. Sesekai matanya itu melirik ke arah objek perhatiannya tadi. Sesuatu yang sudah ia tekuni sejak lima tahun silam. Mengekspresikan perasaan hati melalui tulisan.
Tanpa sadar air matanya mengalir bebas mengenai pipi gempalnya. Ujung bibirnya mengukir senyuman saat kenangan indah terputar begitu saja. Ia menengadahkan kepala, bertujuan agar air matanya tidak lagi keluar.
Tahun-tahun sebelumnya menjadi saksi bisu bagaimana perjuangan gadis tersebut sampai pada akhirnya bisa menginjakkan kaki ditempat seindah ini.
Memorinya masih mengingat dengan jelas. Semua yang sudah berlalu sangat terasa masih baru-baru kemarin dijalani. Dalam hati gadis tersebut tak henti-henti mengutarakan rasa syukurnya karena sudah sampai di titik ini.
Ia percaya satu hal; Kebahagian akan datang jika kita bersabar.
-oOo-
Tidur di hari Minggu.
Semua orang menyukai hari Minggu. Pengecualian jika sudah memasuki Minggu malam karena hari berikutnya adalah hari Senin. Hari dimana segala macam aktivitas akan kembali dilakukan.
Aroma kopi yang khas tercium sampai kamar berukuran sedang yang masih tertutup rapat. Pintu kamar berwarna biru muda masih setia menutup sampai pemilik kamar tersebut membukanya lebar-lebar. Begitu pula dengan jendela ruangan tersebut.
Gadis yang menempati kamar tersebut menggeliat ketika aroma memabukkan membuat perutnya berbunyi. Gerakan pertama jatuh pada tangannya yang mengamit ponsel di atas nakas bersebrangan dengan ranjang.
9:00 AM.
Bukan waktu yang siang jika berada di negara empat musim ini. Beda halnya jika berada di ibukota macam Jakarta, pastinya matahari sudah naik sedari tadi. Matahari di Melbourne masih enggan keluar membuat udara sedikit dingin disini.
Dengan cepat, ia mengumpulkan rambutnya menjadi satu, lalu mengikatnya tinggi-tinggi.
Udara segar mulai masuk saat sang gadis membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Hal yang sangat ia senangi ketika membuka jendela adalah sepasang burung merpati yang tidak pernah absen untuk berkunjung ke jendela kamarnya.
Warnanya yang putih bersih mampu menghipnotis siapa pun orang jika melihatnya secara langsung. Gadis itu mengambil sekantung makanan hewan yang dikaitkan di balik pintu, lalu menaburnya tepat dihadapan sepasang burung tersebut.
Merpati itu pun melahapnya tanpa ampun. Rutinitas yang selalu sang gadis lakukan ketika pagi hari. Menurutnya ini adalah salah satu tindakan kecil mencintai makhluk hidup seperti memberi makan sepasang burung misalnya.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Ia segera menghentikan aktivitasnya lalu berjalan menghampiri seseorang yang mengganggu kegiatan mulianya tersebut. Gadis itu berkaca pinggang seraya mensejajarkan tubuhnya yang kecil dengan tubuh tegap lawan bicaranya.
"Bagaimana kau bisa masuk ke dalam? Padahal aku sudah menguncinya sebelum tidur tadi malam," katanya. Ia pun berjalan melewati lawan bicaranya tersebut lalu menghampiri knop pintu yang ternyata tidak ada kunci yang menggantung. "Ck, pasti kau yang mencabutnya."
"Jika aku seorang jaksa, akan kutuntut kau karena sudah mengatakan hal yang tidak-tidak. Kau pulang larut semalam, karena kecapaian pintu kamarmu belum dikunci, masih mau berprasangka buruk dengan seseorang?"
"Teruslah mengelak, Bung."
"Apa katamu saja, Baby girl."
Sang gadis memutar bola matanya malas. Sebelum bertindak tidak mengenakan, ia mengucapkan sepatah kata yang membuat lawan bicaranya terdiam. "Apa yang membawamu datang kemari?"
"Bagaimana kalau bermain tebak-tebakkan dulu?"
"Hhh... kekanakan sekali," cibir sang gadis. "Ya ampun! Kenapa aku bisa mempunyai kakak seperti dirimu?"
"Karena aku tampan." Lelaki tersebut mendudukan bokongnya bersebelahan dengan meja rias milik sang gadis. "Serius, aku ingin mengajakmu bermain sebentar."
Sang gadis menghela napas lalu menjawab. "Oke! Oke! Kuharap permainan yang kau berikan menyenangkan. Awas saja kalau tidak menarik sama sekali."
"Kau akan menelan kalimatmu itu, Baby girl."
"Berhenti memanggilku seperti itu! Cepat katakan permainan apa yang ingin kau lakukan!"
"Calm down. Kau tidak sabaran sekali," katanya. "Baiklah, jawab pertanyaanku yang pertama, aku dan kau menjadi?"
"Hah?"
"Jawab saja yang berada di pikiranmu."
"Kita?"
Lelaki tersebut mengangguk. "Lawan kata pulang?"
"Pergi?"
Sang gadis mengaitkan alisnya menjadi satu. Dalam hati ia mendecak kesal karena sudah mau menerima ajakan bermain permainan membosankan seperti ini. "Terakhir, negara kepulauan yang bertetangga dengan Australia?"
"Indonesia?"
"Oke! Kau mendapat seratus poin atas jawaban cemerlang tadi! Congratulations!"
"Apa maksudnya?!"
Lelaki tersebut tertawa mendengar umpatan kekesalan adiknya itu. Selang beberapa detik, dia menjawab. "Kita pergi ke Indonesia."
Sang gadis mengerutkan keningnya tanda bingung. Lalu setelahnya memutar bola mata malas. "Sekarang apa lagi?"
"Haruskah kuulangi? Kita pergi ke Indonesia besok!"
Dan pada saat itu juga sang gadis terdiam.
***
Please leave with vote and comment!
Saya akan publish dua chapter mengenai Alwan dan Felicya. Disini ceritanya beda banget sama "sekuel" sebelumnya. Saya juga gatau kenapa bisa beda begitu😂
Sedikit gambaran gimana kelanjutan di "sekuel kakak kelas-ku"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Kelas-ku [COMPLETED]
Teen FictionTOP #2 IN ROMANCE REMAJA A/N: Proses revisi dan di private untuk sementara waktu di bab-bab secara acak, kalau ingin baca silahkan follow dulu, terimakasih. ***** Berawal dari seorang gadis yang menahan rasa malunya menemui kakak kelas yang most wan...