Prolog

6K 511 374
                                    


🔊 Forget Jakarta -  Adhitia Sofyan

***

Di masa SMA,
aku pernah jatuh cinta dan dijatuh-cintai. Tapi kisah ini tak pernah sesederhana itu.

(2008-2010)

***

10 Tahun yang lalu

Agustus, 2008/ Senin, 14.00 WIB
Jambi; 540 mil dari Jakarta
Lintang : -1.6353000/ Bujur : 103.605800--

Klakson bus melengking-diam, berganti menjadi riuh rendah suara seluruh kepala yang mengkritisi betapa sudah seharusnya orang-orang di gedung parlemen itu turun tangan untuk memperhatikan jalan lintas kota yang berlubang-lubang itu, yang sudah seperti wajah bekas jerawat anak perawan. Sementara hujan di mimpi pemuda itu belum reda ketika matanya membuka dan menyipit seketika.

Runi berdecak. Ia lalu menyeka keringatnya yang merembes di wajah dan pelipisnya. Menatap lurus ke depan. Dilihatnya serentetan mesin-mesin bermotor sudah bermanuver membentuk antrian panjang yang membelok sesuai arah jalan. Seorang kernet bus dengan balutan kaos oblong bertuliskan "Apo dio-Ono opo-Aya naon-Ade Ape" dengan huruf kecil-kecil dan celana jeans bolong di lutut datang menghampiri,

"Tiket."

Marina yang duduk di belakang menyerahkan tiga lembar tiket miliknya, Runi dan Rinda. Kernek itu lalu melanjutkan ke bangku penumpang lain. Sambil tersenyum, Marina mengacak-acak rambut Runi dengan jahil.

"Senyum sedikit, sayang. Ini kota yang pernah diinjak Pangeran Charles lho."

Runi menghela napas. Baginya, kota ini lebih mirip kota yang baru saja diinjak raksasa karena jalan-jalan aspalnya yang berlubang. Bukan seperti ini yang diharapkan oleh pemuja kota urban seperti dirinya. Pindah ke kota sekecil ini tidak pernah masuk dalam daftarnya. Terlebih lagi mereka harus naik jalur darat dengan menyebrang laut dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni, lanjut ke Sumatera Selatan lalu berangkat lagi ke tempat bernama Tungkal. Sebuah perjalanan yang sangat lama.

"Apa di sini ada Monas, Ma?" tanya Rinda duduk bersidekap di samping Marina.

"Hmm... ada. Tugu Jam! Ada Angsanya!"

"Ancol?"

"Ada!"

Rin menatap Mamanya tak puas.

"Dufan? Kota Tua? Senayan?"

"Nggak. Tapi kota ini yang sering disebut di prasasti Tionghoa. Di sini kamu akan bertemu dengan banyak pohon, lihat! semua masih hijau. Duh, Mama nggak sabar buat metik pucuk ubi terus di masak dengan santan. Di kota kita sebelumnya kan, mesti beli. Oh ya, di sini ada Lost City loh. Ini adalah satu-satunya kota berinisial J. Kamu pasti akan suka."

Runi menghela napas bosan. Mama konyol sekali kalau ingin melupakan Jakarta yang baru beberapa jam lalu mereka tinggalkan. Dan jangan lupakan Jayapura dan Jogja yang juga berawal dari huruf J. Runi berusaha meralat, tapi Mama kemudian mengelak dengan berkata kalau kota ini spesial karena satu-satunya yang punya awalan suku kata; Jam.

Dan Runi tidak ingin meralat lagi.

Bus jalur Jakarta-Jambi yang ia naiki sempurna membelah jalan berlubang, memasuki gapura besar yang disisi kanan-kirinya ada patung angsa. Di atas gapura itu, ada sebuah tulisan Selamat Datang di Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Ketika mereka tiba di sebuah daerah-dan Mamanya terus mengoceh betapa kerennya kota kelahirannya ini- bernama Tembesi (Lalu Rinda bertanya apakah kota ini banyak mengandung Besi?). Marina tertawa keras.

Dari balik kaca yang tertutup debu dan rintikan gerimis siang itu, Runi bisa melihat sebentangan hutan sumatera di kanan kiri jalan. Dan ia punya firasat buruk kalau ia tidak akan betah di tempat setenang ini. Dengan ekspresi yang jelas-jelas marah, Runi berkata,

"Aku nggak mau jalanin masa SMA di sini."

Marina berpura-pura tidak mendengar. Dia malah menyanyikan lagu Terlena-nya Ike Nurjanah.

Sementara Bus terus melintas menuju kota Jambi.

**

Faktor J (Swastamita) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang