2. Meski Tidak ada Korelasi antara Kantin dengan Brazil

2.8K 348 409
                                    

This is Brazil.

Adalah mantra penenang Rinda saat turun dari mobil dan menginjakkan kakinya di Kotabaru, Jambi. Ia selalu bermimpi bisa pergi ke Brazil. Bukan ke Jambi. Marina yang mendengar malah tertawa dan membenarkan. Ia menjelaskan kalau Jambi punya sedikit kesamaan dengan Brazil. Keduanya memiliki perempuan-perempuan berwajah eksotis dan berkulit sawo matang. Marina juga menambahkan, jika Brazil punya Sambaqui, Jambi punya Candi Muaro Jambi. Jika Brazil penghasil kopi, Jambi penghasil karet.

Runi geleng-geleng kepala. Prihatin dengan Marina yang semakin gila saja mencari persamaan hal-hal yang tidak sama.

Sesampai di rumah Datuk, Runi mengurung diri. Ia baru keluar saat Marina mengancam akan memutar lagu-lagu Meggy Z nonstop di depan kamarnya. Tapi sikap penolakan itu tetap Runi tunjukkan. Rinda pun melakukan hal yang sama. Mereka bersikap seolah tidak tertarik pada apapun. Sampai akhirnya Datuk menunjukkan kemampuannya bermain biola sambil melantunkan puisi-puisi lama. Barulah perhatian Runi dan Rinda sedikit tercuri dan bisa diajak bekerjasama.

Classic—nama lain dari sebuah SMA negeri di kota Jambi—menjadi sekolah pilihan Runi. Bercat cream dengan dinding-dinding pagar tembok mengelupas, berdiri kokoh di puncak pinggiran kota. Menurut kebanyakan orang, SMA ini benar-benar melelahkan, dengan bangunannya yang didirikan di atas tanah yang berbukit-bukit. Jika sudah melangkahkan kaki masuk gerbang, siswa harus jalan menanjak untuk tiba di aula, lalu jalan menanjak lagi untuk tiba di lapangan upacara, lalu menanjak lagi untuk tiba di laboratorium, kelas, perpustakaan, lalu menanjak lagi sampai mereka tiba di pagar pembatas antara sekolah dan tebing yang lumayan curam. Jika melongok dari pagar, di bawah tebing itu ada rumah asrama para pensiunan tentara.

Beberapa siswa yang iseng (atau yang tidak lolos masuk SMA Favorit dan tidak pandai bersyukur sudah diterima di Classic) berkomentar Classic itu tempat Jin buang anak. Di halaman depan ada pohon beringin besar sementara di belakang sekolah, dekat pagar, ada pohon Petai, Kelapa, Kelapa Sawit dan Akasia yang juga sangat besar.

Uniknya, orang-orang luar mengatakan sekolah ini kecil kapasitas dengan halaman sekaligus pelataran parkir yang hanya selebar lima hasta. Tapi sebenarnya, koridor-koridor panjang dari arah empat mata angin akan membawa semua orang masuk ke satu inti yang sebenarnya. Daratannya yang bertingkat-tingkat seperti bukit akan berujung pada ruang-ruang kelas yang berjejeran rapi. Sebuah sekolah dengan halaman luas di tengahnya. Selain itu, di belakang sekolah—jika sedikit mau berusaha atau berlama-lama menunggu—siswa bisa melihat matahari terbenam yang sangat indah.

Well, every school has a secret.

Hari ini pertama masuk sekolah. Dan Runi sudah melakukan pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran sebelum kelas XI tentu sudah ia koleksi. Enam bulan yang lalu saat ia masih berstatus anak baru di kelas X, ia pernah menggantung tas temannya di tiang bendera di Classic, pernah menggagalkan acara makrab (malam keakraban) ketika MOS dengan meledakkan tiga renceng petasan, menyelundupkan anak sekolah lain ke dalam kelasnya dan ke dalam kantin, dan yang paling parah ia tergabung dalam Majelis Bilik 13.

Kalau ada ajang pemilihan Trouble-maker Student Award, 100% Runi jawaranya.

Bel masuk kelas sudah berbunyi sejak bermenit-menit yang lalu ketika cowok itu melompat dari dahan pohon Akasia di belakang sekolah. Sambil memperbaiki lengan jaketnya yang berlabel 'Thank's Rachel Corrie, dan membetulkan letak tas selempang berwarna putih kumal dengan merek salah satu rokok ternama di Indonesia yang ia pakai—sepertinya tas itu bonus dari pabrik karena membeli satu dus. Cowok itu berjalan sambil terhuyung. Ia tidak menyesali kenapa semalaman suntuk ia habiskan untuk menonton film dan main game PB berjam-jam.

Sorot matanya sayup. Rambut jigrak-legam-nya bertambah kacau saat ia menggaruk-garuk kepala. Mual. Mungkin itu efek kopi tubruk semalam yang ia teguk gila-gilaan, dan langsung ia hantam dengan menatap layar komputer berjam-jam. Dia lupa kalau sesuatu yang berlebih justru malah menghisap energi.

Faktor J (Swastamita) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang