9. Perempuan Brazil

1.3K 266 201
                                    

Di Brazil, ada sebuah kota bernama Nao-Me-Toque. Yang artinya Don't Touch Me. Sebuah kota yang seolah dibentuk dari trauma masa lalu. Sebuah kota yang dari awal membangun dinding dingin yang tinggi. Bagi Runi, kota itu Tami.

Sejak peristiwa titip salam itu, Runi dan Tami tidak pernah bertegur sapa (sebelumnya pun belum pernah). Tami seolah tak pernah menganggap hal itu pernah terjadi. Runi sendiri memilih menyimpan salam yang tak dijawab itu untuk ia sampaikan lagi entah kapan. Ia tak pernah bisa mengajak Tami berbincang-bincang seperti ia bisa berbincang-bincang dengan yang lain. Sehingga ia lebih memilih memandang Tami dari jauh.

Keadaan semakin canggung walau Runi sudah berusaha memperbaikinya dengan memberi senyum bila mereka tak sengaja bersitatap. Tetapi sayangnya, mereka tak pernah beristatap. Tami bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan seolah-olah tidak ada yang bernama Runi di kelas ini. Runi pernah berusaha bisa berjalan bersisian dengan Tami. Tapi saat jarak mereka sudah sangat dekat. Tami pergi dengan langkah yang tenang dan anggun. Bahkan Runi yang biasa bolos upacara, rela mengikuti upacara demi bisa berdiri berjejeran dengan Tami (meski itu sulit karena Runi tinggi). Tapi dia rasa itu bisa diusahakan meski Tami tidak menyadarinya.

Pagi ini, setelah menginjak kaki Kaisar yang memakai sepatu baru, Runi masuk kelas;

Maka pemandangan yang sama dalam beberapa bulan itu terulang kembali. Sebuah bangku dengan tas yang sudah disandarkan, tetapi pemiliknya tidak pernah ada, sebelum bel masuk berbunyi. Kadang-kadang

Runi takjub dengan keteguhan gadis itu untuk tak pernah ada di kelas jika KBM belum berlangsung. Ia akan ada di kelas bertepatan dengan bel berbunyi. Begitu seterusnya, Tami melakukan hal yang sama setiap hari, Runi melakukan hal yang jerih setiap hari. Tami yang dingin dan Runi yang panas dan pecicilan. Tidak ada kemajuan dari usaha yang dilakukan Runi.

"Temanmu kemana?" Runi memberanikan diri bertanya pada Lid yang tengah sibuk menghitung keuntungan bisnisnya. Lid menoleh kanan kiri.

"Siapa?" dilihatnya Alya sudah duduk dan berbincang bersama Olin.

"Tami."

Lid mengerjap-ngerjap. "Oh! Taaamiiii?"

Runi panik. Lid bicara seperti sedang berada di depan gong raksasa.

"Quid pro Quo! Tidak ada yang gratis di muka bumi ini kecuali napas dan kentut. Dan itupun ya, untuk orang-orang tertentu, napas dan kentut harus bayar loh! atau operasi dulu. Jadi-"

Belum selesai ia menciap. Runi sudah ngeloyor ke bangkunya. Lid hendak protes tetapi Depa, masuk kelas sambil berteriak-teriak.

"Pak Zul! Pak Zul! Pak Zul!" teriak Depa. Tangannya merogoh topi dan dasi di ranselnya. Semua yang mendengar langsung ingat kalau; ini hari senin, bel sudah berbunyi, peserta upacara masih belum rapi dan Pak Zul sudah patroli sambil membawa-bawa satang sepanjang satu meter. Tapi bagi beberapa anak cowok, satang itu lebih mirip pedang Zabuza yang akan menebas pantat-pantat malas-gerak milik mereka.

Dalam hitungan detik, seisi kelas (juga kelas-kelas lain) sudah lari terbirit-birit ke lapangan.

Ketika Runi tiba di lapangan upacara. Ia menemukan Tami sudah berdiri dengan rapi.

***

"Tamtam!"

Tami berhenti memotong-motong bakwan yang sudah ia siram dengan cuka mpek-mpek. Dia mendongak. Lid dan Alya sudah berdiri di sampingnya.

"Kami duduk disini ya. Bangku yang lain penuh." kata Lid sambil mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin. Tanpa menunggu jawaban, Lid menjatuhkan pantatnya ke bangku panjang di depan Tami. Disusul Alya yang langsung duduk di samping Tami.

Faktor J (Swastamita) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang