10. Tempat Paling Indah di Sekolah

1.3K 267 329
                                    

"Promise me you'll always remember: You're braver than you believe, and stronger than you seem, and smarter than you think." ―A.A. Milne

*

Mengetahui ada seseorang yang menunggu perpustakaan buka adalah pemandangan yang langka. Sama langkanya ketika ingin menemukan hujan di Gurun pasir Atacama*. Sekalipun langka, tetap saja ada. Contohnya Tami. Baginya, perpustakaan adalah tempat untuk menemukan semua pertanyaan yang selama ini hinggap di kepalanya. Belakangan ini ia jarang ke perpustakaan karena kesibukan menyesuaikan diri di kelas barunya. Dan ia merasa sangat bersalah.

Tingkahnya yang sudah duduk manis di lantai luar perpustakaan pagi hari itu begitu mencolok dan membuat Winda terpana untuk kesekian kalinya.

"Kamu berangkat sekolah jam berapa sih?" sapanya lembut.

Tami ber-eh sesaat. Tapi ia segera berdiri dan tersenyum lembut menyambut perempuan yang masih terbilang muda di depannya itu. Kali ini senyumnya tulus dan tanpa pretensi seperti biasanya. Mata prominent-nya menatap ujung kerudung Winda. Hari ini Winda terlihat anggun dengan kerudung dusty pink.

"Jam setengah enam."

"Waw. Pagi sekali..."

Tami menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kebiasaannya jika gugup. "Daripada rumah, saya sangat suka sekolah, sebenarnya..." Tami meremas tangannya. "Apalagi perpustakaannya."

Saya juga suka ibu. Tami membatin.

Bagi Tami, Winda adalah penjaga perpustakaan paling asik sedunia. Sebelum-sebelumnya, penjaga perpus identik dengan dagu runcing dan wajah tua. Tetapi sejak setahun yang lalu, perempuan di depannya sudah hadir untuk membantu Ibu Clara yang sudah lebih dulu menjadi penjaga perpustakaan di Classic. Ibu Clara yang ketus, cerewet dan berbedak tebal-karena itu ia dijuluki Ibu bedak tebal oleh anak-anak Classic-bertolak belakang dengan Winda yang ramah, pintar, dan natural.

Tami yang awalnya selalu menghabiskan waktu di perpustakaan seorang diri begitu takjub saat Winda mendekatinya dan meminjamkan Tami buku-buku koleksi pribadinya yang tak Tami temukan di perpustakaan Classic. Sejak saat itu, mereka dekat.

Tami tidak pernah lupa kalimat pertama Winda dulu; Buku-buku rasanya tak pernah habis untuk dibaca. Kita seperti lahir dan berhadapan dengan banyak daftar bacaan.

"Tami? Sebenarnya itu maksudnya apa?" Winda menegur, membuat Tami berjengit. Ia mengangkat alis. Intonasinya sedikit menekan pada kata sebenarnya. "Apa ada siswa yang mengganggu kamu lagi?"

"Nggak. Nggak ada lagi." Tami menggeleng kuat. "Saya bersikap hati-hati supaya nggak diganggu lagi." Tami menggigit bagian bawah bibirnya.

Winda menghembuskan napasnya pelan. Jemarinya merogoh saku dan mengeluarkan permen coklat dan rangkaian kunci pintu perpustakaan sekolah. Dengan bunyi ceklek, pintu itu sudah terbuka. Tangannya nampak melambai lembut mengajak Tami masuk. Aroma khas buku dan kayu langsung tercium. Tami menghidu pelan. Wangi buku memang yang paling enak.

"Oh ya. Buat kamu. Ini enak." Winda menyodorkan permen coklat.

Tami menerimanya dengan senang. "Makasih bu..."

Winda menatap prihatin pada siswi di depannya itu. Kalimat Saya bersikap hati-hati supaya nggak diganggu lagi itu seperti kaset yang berputar di kepalanya. Kasihan sekali. Bersikap hati-hati supaya tidak dibenci tapi malah tergerus sendiri. Tertelan sendiri. Tak bisa mengenali diri sendiri. Tidak adakah yang bisa menerimanya dengan tulus. Apakah tidak ada seorang pun yang bisa membuat gadis ini menjadi diri sendiri?

Faktor J (Swastamita) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang