"Pak.. pak Sanusi..?" Gumam Vitya tergagap. Pria itu tersenyum jahat menatap Vitya dan Eza.
"Apa kabar,Nona Vitya?" Tanya Pak Sanusi masih tersenyum. Vitya masih terpana menatap sang sopir pribadi keluarganya itu.
"Bapak bukannya sudah.." Gumam Vitya ragu.
"Mati?" Lanjut Pak Sanusi cepat. Bibirnya kembali tertekuk jahat. "Itu cuma camouflage, sama seperti yang Nona lakukan 24 jam terakhir.." Ucapnya sangat tenang.
"Jadi Anda dalang dibalik semua ini? Orang dalam itu." Ucap Eza datar menatap dingin Pak Sanusi.
Pak Sanusi menatap Eza datar.
"Seperti yang kamu lihat?" Pak Sanusi tersenyum sinis.
Lalu melirik anak buahnya, " Bereskan mereka. Saya tidak mau ada laporan gagal lagi. Mengerti?" Bentaknya kepada anak buahnya.
"Selamat bersenang-senang. Sekarang tinggal mengejar papa kamu yang sebentar lagi landing." Ucap Pak Sanusi sambil tersenyum licik,lalu berpaling dan berjalan ke arah mobil sedan hitam satu-satunya yang ada di dalam gudang itu.
"Tunggu! Bukannya harusnya adik saya dan saya sudah tidak ada urusannya dengan ini?" Teriak Rey menatap punggung Pak Sanusi.
Tapi Pak Sanusi tidak bergeming dan langsung masuk ke dalam mobil sedan hitam itu.
"Sialan!" Maki Rey pelan.
Eza dan Vitya menatap Rey kesal sekaligus iba.
Tidak seharusnya membuat perjanjian dengan penjahat, apalagi penjahat macam Pak Sanusi yang akan melakukan segala cara agar tujuannya tercapai.-----------------------------------------------------
Sekarang mereka bertiga dikelilingi sekitar 30 orang lebih anak buah Pak Sanusi. Vitya, Eza dan Rey dipaksa berlutut sementara mereka menodongkan pistol kearah mereka bertiga.
"Jadi, siapa yang mau duluan?" Tanya salah seorang pria berjas hitam didepan mereka bertiga. Eza dan Vitya saling berpandangan. Rey menatap mereka berdua sambil menghela napas menyesali kebodohannya.
"Saya." Ucap Rey tegas menatap tajam pria itu.
"Mas Rey.." Pekik Vitya menatap Rey nanar. "Pak.. bisa minta permohonan terakhir ngga pak,sebelum mati pak? Saya masih muda pak,first kiss aja belom pak." Lanjut Vitya tiba-tiba merengek sambil berguling di lantai gudang yang kotor. Beberapa anak buah Pak Sanusi terkekeh dan mulai mengendorkan kesiagaannya. Saat itulah Eza dengan gesit menarik dua pistol dari pria berjas hitam didekatnya, sedangkan Vitya menendang kaki pria berjas hitam terdekat,lalu mengambil pistolnya. Rey melongo menatap kekompakan dua anak itu. Tapi ternyata ada yang kesal dengan perbuatan mereka berdua, alih-alih menahan serangan tembakan, pria yang tadi menyuruh mereka berlutut, mengarahkan pistol ke Vitya dan mencoba menembaknya,tetapi Rey bergerak duluan dengan melindungi Vitya dengan tubuhnya.
Kejadian itu begitu cepat tapi Vitya bisa melihatnya dengan sangat jelas saat pria berbaju hitam itu menodongkan pistolnya dan menembakkan peluru ke arahnya,dan dirinya terpejam. Suara tembakan terdengar satu kali,tetapi Vitya tidak merasakan sakit sama sekali diseluruh tubuhnya. Ketika Vitya membuka matanya, Rey ada didepannya, membentangkan kedua tangannya didepan Vitya.
Eza melihat kejadian itu sambil mulai menembaki orang-orang berbaju hitam disekitarnya. Dalam waktu sepersekian detik, 20 orang lebih sudah dilumpuhkan Eza. Beberapa pria berjas hitam terlihat kaget dengan kecepatan Eza melumpuhkan teman-temannya, dan mulai membidik Eza, Vitya dan Rey yang terkapar di lantai. Eza dengan sigap menyandera pria yang tadi menembak Rey.
Eza menebak pria itu tangan kanan Pak Sanusi, karena hanya dia yang berani bersuara dari semua anak buah Pak Sanusi.
Dan tebakan Eza tepat, pria berbaju hitam sisanya menahan tembakan mereka dan saling melirik.
"Suruh mereka semua menjatuhkan senjata atau Anda mati." Gumam Eza ditelinga tangan kanan Pak Sanusi itu. Pria itu bergetar ketakutan dan langsung menyuruh teman-temannya untuk menurunkan senjatanya.
"Vitya! Lihat kondisi Rey! Vit!" Panggil Eza menatap tajam Vitya yang masih syok melihat Rey yang terbaring di lantai dan darah mulai menggenangi kemejanya.
Vitya tersadar dari syoknya, dan dengan tangan bergetar mengecek luka tembak Rey yang ternyata di bagian lengan sebelah kiri.
"Di..di leng..lengan se..sebelah ki..kiri.." Ucap Vitya terbata-bata karena masih sangat syok.
"Sobek ujung baju Rey,ikat lukanya supaya pendarahannya berhenti!" Suruh Eza tanpa memalingkan wajahnya dan mengendorkan siaganya. Dengan tangan masih bergetar,Vitya melakukan yang diperintahkan Eza.
"Kenapa Mas Rey ngga sadar,Za?" Tanya Vitya setelah mengikat kencang lengan Rey.
"Mungkin karena syok. Kamu bisa papah Rey sampai mobil?" Tanya Eza tenang masih dengan mata menatap sisa pria berjas hitam itu. Tiba-tiba Eza menembak salah satu pria yang diam-diam akan mengambil pistolnya yang sudah dibuang.
"Sedikit saja ada yang bergerak,saya tidak segan-segan menembak." Ucap Eza dingin dan tajam.
Sementara Vitya dengan susah payah membopong Rey dan mulai berjalan keluar gudang.
"Semua berjalan maju,ikuti saya." Perintah Eza sambil masih menyandera tangan kanan Pak Sanusi. Dan mereka mulai maju mengikuti Eza yang berjalan mundur dibelakang Vitya.
"Berhenti!" Perintah Eza ketika sudah sampai didepan pintu gerbang gudang. "Tutup pintunya!" Lanjut Eza menyuruh pria-pria berjas hitam yang sedang mengangkat tangannya itu. Setelah pintu gudang tertutup,Eza menyuruh tangan kanan Pak Sanusi untuk menggembok pintu dengan rantai yang terjuntai di pintu, kemudian merantai pria itu.
Vitya meletakkan Rey dengan hati-hati di jok belakang.
Eza berlari masuk kedalam mobil kemudian mengelock pintunya. Setelah itu dengan cepat memeriksa keadaan Rey.
"Pelurunya menyerempet nadinya, dia harus segera diobati." Ucap Eza cepat, lalu tanpa aba-aba mendekati Vitya dan mulai memeriksa.
Vitya yang daritadi masih syok melihat Rey tertembak,perlu waktu untuk otaknya berpikir apa yang Eza lakukan terhadapnya. Dan tiba-tiba jantungnya berdegup kencang bersamaan dengan pipinya yang memanas ketika Eza memeluknya.
"For a sec,I thought I lost you.." Gumam Eza sambil mempererat pelukannya ke Vitya. Perasaan hangat mengalir di hati Vitya. Pelukan itu sungguh sangat menenangkannya yang daritadi syok melihat adegan-adegan tembak sana-sini.
Baru saja Vitya akan memeluk balik Eza, Eza melepaskan pelukannya. Matanya tidak bisa menatap Vitya.
Seperti salah tingkah, Vitya bisa melihat wajah Eza dengan ekspresi malu,bukan datar seperti biasa.
"Maap, saya kehilangan kendali." Ucap Eza sambil berdeham. "Sekarang kita harus menolong Rey dulu. Setelah itu cari tahu dimana Pak Wapres mendarat." Lanjutnya masih tanpa melihat Vitya.
Sebelum Eza mulai mengegas mobilnya, Vitya menarik wajah Eza untuk menatapnya. Setelah mata mereka berdua bertemu, Vitya dengan cepat menempelkan bibirnya di bibir Eza.
Eza tampak terkejut dengan serangan mendadak itu, tapi Vitya terlihat menikmati mencium bibir Eza. Beberapa detik kemudian, Vitya melepaskan ciumannya dan Eza masih mematung ditempatnya.
Vitya tertawa kecil melihat wajah Eza yang merah padam.
"Cantik? Lo baru aja mencuri first kissnya Rasyid!" Gumam Rey sambil terkekeh pelan tiba-tiba dari jok belakang. Vitya dan Eza terkejut mendengar Rey bersuara.
"Mas Rey!!! Udah sadar?" Pekik Vitya antara senang dan khawatir. Eza menatap Rey dengan tatapan yang sulit diartikan. Rey hanya mengangguk.
"Ternyata ditembak itu sesakit ini yah?" Gumam Rey lemah sambil meringis.
Eza mendekati Vitya dengan kaku dan memakaikan seatbelt untuknya. Vitya yang didekati tiba-tiba kembali merasakan jantungnya berdegup kencang tanpa bisa berkata-kata. Padahal tadi dia berencana bertanya apa benar itu ciuman pertama Eza?
"Jangan banyak gerak,pendarahan lo parah." Ucap Eza lalu melajukan Audy hitam milik Rey menuju orang yang bisa mengobatinya.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Agent Garuda
Action-Oktassy Divitya Grishelda- Aku benci menjadi anak wakil negara ini. Aku benci tatapan menilai dari orang-orang setiap melihatku. Aku berharap aku bisa menjadi gadis SMA yang normal yang bisa menikmati kehidupan remajanya dengan tenang. -Arasyid Fah...