Hidupku?
Kau bertanya tentang kehidupan yang bahkan aku menyesalinya? Kau pikir aku bahagia hanya memiliki segalanya seperti apa yang orang-orang itu katakan?
Katakan aku gila. Semua orang ingin hidup senang dan serba instan. Tapi siapa peduli dengan itu? Sayang sekali aku tidak tertarik. Hidup ini terlalu singkat. Hidup ini sudah dipenuhi orang-orang munafik. Hidup ini sudah penuh oleh para pemain sandiwara hebat. Hidup ini sudah terkontaminasi oleh ambisi, kebohongan, serta kegilaan.
Kau masih berpikir hidup ini mudah?
Itu hanya ungkapan lama.
***
Pagi ini, aku kembali melangkahkan kaki ke tempat yang membuatku bisa bertahan hidup karena uang yang kudapat sebagai bayaran atas kelakuanku disini. Di gedung bertingkat yang bahkan tak semua orang bisa mencapai puncaknya.
Dan aku, salah satu pekerja yang (tidak) beruntung bisa mencapai puncak gedung ini.
Namaku Taehyung, dengan marga Kim di depannya. Seorang direktur muda yang entah kenapa bisa bisa mencapai jabatan itu dengan mudah. Tidak. Aku bercanda. Pemilik perusahaan sebelumnya, yang tak lain adalah kedua orangtuaku, meninggal. Mereka mengatakan, itu adalah kecelakaan tunggal. Tapi aku tau, itu hanya bentuk sabotase agar mereka bisa menguasai perusahaan ini.
Sayangnya, aku tidak sebodoh itu.
Mungkin aku masih berumur 25 tahun. Terlampau muda, bukan, untuk menjadi seorang pemimpin di perusahaan sebesar ini? Tapi ku pastikan, otakku lebih cerdik dari kedua orang tuaku.
Kembali ke realita.
Aku mulai memasuki lobi. Orang-orang berjejer saat melihatku. membungkukkan badan mereka untuk memberi hormat kepadaku. Wajah mereka menyunggingkan senyum. Senyum yang menjadi topeng mereka agar aku meliriknya dan membuat pangkat mereka naik. Hah, dunia ini terlalu mudah ditebak.
Lucu. Benar, bukan?
Mereka beramai-ramai menyombongkan topeng mereka. Nyatanya, aku sama sekali tak peduli.
Kembali aku melangkah dengan santainya. Memasuki lift, lalu menekan tombol 10, lantai tempat ruanganku berada. Lantai ini sepi. Tempatnya berada di tengah-tengah gedung. Aku tak terlalu suka memakai lantai puncak. Untuk mencapainya saja sudah menghabiskan waktu.
Aku mendudukkan diri di kursi kebanggaan kedua orang tuaku dulu. Ya. Kebanggaan mereka. Impian mereka. Milik mereka. Aku hanya penerus sementara. Aku masih mempunyai mimpi yang belum pernah aku wujudkan. Aku masih ingin melakukan sesuatu yang membuatku bangga terhadap diriku sendiri. Tapi bukan disini. Ku katakan, jika bukan karena orang-orang tua yang mendedikasikan hidupnya sebagai kepercayaan kedua orang tuaku itu terus mengusikku dengan bujukannya, dan karena aku menghargai apa yang telah kedua orang tuaku bangun dari dulu, aku tak akan sudi berada disini.
"Mengalami pagi yang indah, Sajangnim?"
Aku menoleh. Mendapati pria berkulit pucat menyebalkan terduduk di meja samping meja kerjaku dengan mata yang focus pada komputer. Park Jimin. Satu-satunya orang yang kupercayai saat ini. Pria tak jelas setengah gila yang entah kenapa aku menginginkannya menjadi sekretaris pribadiku di perusahaan ini.
"Menurutmu, Park Jimin-ssi?"
Aku balik bertanya. Ku hempaskan badanku di atas sofa. Menutup mata lelah. Lelah melihat sandiwara tak henti yang dilakukan oleh orang-orang di luar sana.
Jimin terkekeh. Dia mengalihkan pandangannya menatapku.
"Taehyung-ah, berhentilah menutup mata. Tak semuanya sesuai dengan pikiran negatifmu."