Suamiku Bukan Suamiku Part 18

10.5K 492 3
                                    

Mas Pras segera beranjak dari kursi dan menyambut tamu yang datang, sedangkan aku hanya diam saja. Suasana hatiku tiba-tiba menjadi tidak enak.

Mas Pras mempersilahkan tamunya masuk ke ruang tamu. Aku masih saja bergeming di kursi taman. Menata hati dan emosi, sebelum aku menemui tamu itu. Membaca istigfar, dan menarik napas dalam-dalam supaya sedikit lebih tenang.

Setelah aku rasa cukup menguasai diri, segera kutemui tamu Mas Pras, bersalaman dan berbasa-basi sebentar lalu aku menuju ke belakang membuatkan minum dan mengambilkan suguhan. Ternyata wanita setengah baya itu adalah ibu Lily namanya Bu Sri.

"Kok repot-repot, Nak. Ibu kesini ada perlu sama kamu dan Nak Pras," ucap Ibu Sri sambil terbatuk-batuk ketika aku meyuguhkan teh dan kudapan. Lily memegang tangan ibunya dan menggeleng mencegah Bu Sri ntuk bicara. Namun Bu Sri menepis tangan Lily dengan lembut.

Aku menatap Bu Sri lamat-lamat. Kulitnya pucat, tatapannya sayu, matanya cekung dan tubuhnya sangat kurus. Terlihat ringkih, dia juga sering batuk-batuk.

"Nak, sejak kecil Lily hanya hidup berdua dengan Ibu. Dan sekarang Ibu sakit-sakitan." Dia berhenti sejenak dan memberiku sebuah amplop besar dan sebuah amplop kecil hasil pemeriksaan dari rumah sakit.

Amplop besar itu berisi foto rontgen atas nama Bu Sri. Aku tidak bisa menerjemahkan kelainan yang ada dalam foto tersebut. Aku beralih pada amplop yang lebih kecil. Aku baca perlahan. Di situ tertera bahwa pasien mengalami kangker paru-paru stadium lanjut. Aku menarik napas dalam-dalam. Meletakkan amplop kedua di meja.

"Nak, Ibu tahu waktu ibu tidak banyak lagi. Maka dari itu sebelum Ibu menghadap Ilahi Ibu ingin melihat anak ibu satu-satunya ini bahagia. Ada yang menjaganya," Bu Sri terbatuk lagi. Suaranya semakin serak. Aku masih diam saja, sedangkan Lily terisak.

"Bu, jangan. Aku mohon, Bu," pinta Lily diantara isaknya. Ibunya tetap tidak menghiraukan.

"Untuk itu Nak, Ibu mohon kerendahan hati kamu, agar mengijinkan Lily menjadi istri kedua Pras." Bagai tersambar petir aku mendengar kata-kata yang baru Bu Sri ucapkan. Kepalaku menjadi pusing.

"Ibu tahu ini pasti menyakitkan buat kamu, Nak. Tapi Ibu sudah tak punya pilihan lain. Ibu yakin kau bisa memahami posisi Ibu, karena kau juga seorang ibu." Bu Sri terbatuk lagi.

"Bu, bagaimana jika posisinya terbalik. Jika saya meminta suami anak Ibu untuk menikahi saya, apa kira-kira Ibu mengijinkannya? Saya juga punya seorang Ibu. Bagaimana perasaan Ibu saya nanti? Bagaimana perasaan kedua anak saya melihat ayahnya menikah lagi. Apa Ibu juga memikirkan itu?" ujarku setengah emosi. Aku mulai naik pitam, setelah mendengar permintaan Bu Sri yang tak masuk akal.

"Nak, tolonglah. Ibu mohon." Tiba-tiba saja Bu Sri berlutut di hadapanku. Menggenggam kedua tanganku dan menatapku dengan mata sayunya penuh harap. Aku tercekat melihat kelakuan Bu Sri. Aku memandang Mas Pras yang duduk di sampingku. Berharap dia melakukan sesuatu untuk meolongku. Tapi Nihil. Dia bergeming dengan kepala tertunduk.

Bu Sri batuk-batuk lagi, kali ini batuknya lama, dan aku lihat ada percikan darah di sapu tangan Bu Sri yang digunakan untuk menutup mulutnya saat batuk. Sesaat kemudian Bu Sri pingsan.

Aku jadi panik, takut terjadi apa-apa pada Bu Sri. Lily histeris melihat ibunya lunglai tak berdaya, wajah Bu Sri semakin pucat. Mas Pras segera membopong tubuh Bu Sri ke mobil.

"Ratih, aku ke rumah sakit dulu," ujar Mas Pras panik. Aku hanya mengangguk saja. Tak tau harus berkata apa.

-----

Kejadian tadi berlangsung begitu cepat. Permintaan Bu Sri membuat pikiranku menjadi tak karuan. Di sisi lain aku tak ingin berbagi suamiku dengan siapapun. Tapi di sisi lain ada permintaan seorang ibu yang hampir sekarat. Ya Allah kenapa keadaannya jadi serumit ini?

Aku terbelenggu antara prinsip dan rasa kemanusiaan. Ada ketakutan dalam diriku jika suatu saat nanti berada dalam posisi yang sama dengan Bu Sri saat ini. Anakku dua-duanya juga perempuan.

Mungkin ini yang dinamakan roda kehidupan terus berputar, dulu Mas Pras terpaksa menikahiku karena tekanan dari ayahnya. Apakah sekarang aku juga harus rela berbagi suamiku dengan Lily karena permintaan ibunya?

Suara deru mobil Mas Pras menyadarkan aku dari lamunan.

"Belum tidur?" tanyanya melihatku Masih duduk bersandar pada dipan di kamarku. Aku tak menjawab, hanya menatap kosong ke arah jendela.

"Kau masih kepikiran permintaan Bu Sri?" tanyanya lagi. Aku menghela napas tipis.

"Sulit Mas, ini keadaan yang sangat rumit untukku."

"Aku tahu, kau tak mau dimadu. Tapi aku juga tak akan menceraikan kamu Ratih. Apapun alasannya," ucapnya datar.

"Lalu Lily?" tanyaku kesal.

Mas Pras meremas rambutnya dan mengusap wajahnya. "Seandainya saja aku bisa membahagiakan semua orang tanpa harus ada yang terluka," gumamnya lirih.

Pikiranku benar-benar kalut. Apakah aku harus melanggar prinsipku untuk kebahagiaan Mas Pras dan orang lain? Ataukah aku tetap pada pada prinsipku, dan melanggar janjiku pada almarhum ayah mertuaku? Ya Allah kapankah badai ini akan berlalu?

(Bersambung)

Suamiku Bukan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang