Suamiku Bukan Suamiku Part 13

11K 553 5
                                    

Aku terbangun dari tidurku. Pusing di kepalaku terasa mulai berkurang. Selang oksigen telah dilepas. Luka di tangan dan di lututku sudah tak senyeri kemarin. Hanya leher bagian belakang masih terasa sakit bila di gerakkan. Tapi sekarang aku sudah bisa menggerakkan badanku dengan agak leluasa.

Dari balik tirai jendela yang transparan aku dapat melihat cahaya matahari di luar masih remang. Jam dinding menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Mas Pras masih tertidur di sofa rumah sakit. Biasanya Mas Pras bangun sebelum subuh. Mungkin ia terlalu letih. Siang hari harus bekerja dan malamnya harus menjagaku.  Aku tak tega membangunkannya. Dia tampak semakin kurus dan wajahnya kusam.

Aku bingung dengan perasaanku terhadapnya. Di satu sisi aku sangat mencintainya dan tak pernah ingin berpisah, tapi di sisi lain aku sungguh muak jika ingat pengkhianatan yang sudah dia lakukan. Rasa rindu dan benci yang datang silih berganti, membuat diriku terpasung dalam kebimbangan antara berpisah atau terus bertahan.

Dia menggeliat. Kemudian membuka mata melihat ke arahku. Aku segera mengalihkan pandanganku.

"Sayang, kamu sudah bangun?" tanyanya sambil berjalan ke arahku. Aku melengos tak menjawab. Ada lecutan rasa marah di dadaku mendengar kata sayang darinya.

"Aku mau sholat dulu ke musholla, ya?" aku masih tak menjawab hanya mendengus pelan.

"Ya sudah, aku sholat di sini saja." Aku tak mengerti mengapa dia berubah pikiran. Apa dengusanku tadi terdengar seperti sebuah larangan baginya? Dia berlalu ke kamar mandi. Kemudian berganti sarung dan menghamparkan sajadah di area kosong antara sofa dan ranjangku.
Selesai sholat ada seorang perawat datang membawa sebuah bak aluminium tanggung, entah apa isinya.

"Apa itu, Mbak?" tanyaku dengan lirih.

"Air hangat, Bu. Untuk seka." perawat itu  menjawab dengan senyum kemudian pergi, setelah meletakkan bak aluminium itu di dekat kaki ranjangku.

Mas Pras mengambil bak aluminium itu dan meletakkan di sampingku. Kemudian dia ke kamar mandi dan keluar dengan membawa sebuah waslap. Aku mengerti apa yang akan dia lakukan. Dia akan menyeka tubuhku. Mas Pras mencelupkan waslap itu kemudian memerasnya, belum sempat tangannya sampai ke wajahku aku mendorong bak aluminium itu dan... Prannngggggg!!!!!!
Bak Aluminium jatuh ke bawah. Airnya tumpah dan membasahi sebagian sarung yang Mas Pras kenakan. Dia nampak terkejut dengan apa yang aku lakukan

"Ratih, kau..." ada rasa terkejut dan kesal dari nada bicaranya. Lagi-lagi aku tak menjawab. Hanya membuang muka. Aku merasa tak sudi kulitku di sentuh olehnya. Aku membayangkan setelah menyentuh wanitanya dia menyentuhku. Jijik.

Mas Pras keluar setelah mengganti sarungnya entah kemana. Dia tidak bilang padaku. Mungkin dia kesal. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan petugas kebersihan. Sementara petugas itu bekerja dia duduk di sofa. Melihat hapenya sebentar, kemudian menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan.

Petugas mengepel lantai dan mengganti keset kamar mandi yang basah. Kemudian petugas itu pergi. Mas Pras datang mendekatiku.

"Ratih, kamu marah padaku?" lagi-lagi aku bungkam. Enggan menjawab pertanyaannya. Hanya membuang muka.

"Assalamualaikum." Rupanya ada orang yang datang.

"Waalaikum salam." Mas Pras menjawab salam.

Seorang laki-laki muda berbadan tegap dengan wajah oriental masuk ke ruanganku. Dari seragam dinas dan atribut yang ia kenakan, aku tahu bahwa dia seorang pengajar. Mas Pras menyambut tamu itu dengan ramah. 

"Mbak Ratih, kenalkan saya Pandu." Dia memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan kanannya. Aku tersenyum dan mengangguk tak merima uluran tangannya, tapi hanya menangkupkan kedua tanganku di depan dada dengan susah payah. Tampaknya dia mengerti.

"Oh , Maaf," ucapanya sambil menarik uluran tangannya.

"Pak Pandu ini orang yang menabrak kamu." Mas Pras menjelaskan siapa laki-laki yang berdiri si hadapanku ini.

"Silahkan duduk dulu, Pak." Aku mempersilahkan pria bernama Pandu itu untuk duduk di kursi yang ada di dekat ranjang.

"Ini, Mbak. Saya bawakan bubur ayam untuk sarapan. Semoga  Mbak Ratih suka," ucap pria itu sambil menyerahkan bungkusan yang dibawanya. Mas Pras menerima bungkusan itu dan meletakkannya di meja dekat telepon.

"Terima kasih, Pak. Malah merepotkan ini," kataku basa-basi.

"Jangan panggil Pak lah. Berasa tua saya. Ha..ha..." ucapnya diiringi tawa padahal bagiku tak ada yang lucu, "panggil saja Pandu," lanjutnya.

"Maaf, Mbak. Karena saya Mbak Ratih harus dirawat seperti ini." Ucap pria berwajah oriental itu penuh penyesalan.

"Ga, kok. Bukan karena itu saja. Ada hal lain yang membuat saya seperti ini." Jawabku sambil melirik tajam ke arah Mas Pras. Namun, dia memasang wajah seolah-olah tak mengerti.

Hape Mas Pras yang tergeletak di meja sofa berdering. Dia segera melihatnya.

"Mas Pandu, saya tinggal dulu," ucapnya sambil memberi isyarat bahwa ia hendak menerima telpon. Mas Pras keluar. Dari balik jendela aku dapat melihat dia duduk di kursi taman yang ada di depan kamarku. Aku berpikir kenapa dia sampai pergi sejauh itu. Seberapa rahasiakah pembicaraannya itu? Aku tidak peduli.

Selama Mas Pras bicara di telepon. Aku mengobrol dengan Pandu. Ternyata dia orang yang lucu. Ingin sekali aku tertawa oleh cerita-cerita konyolnya, tapi jika tertawa leherku masih terasa sakit. Jadi aku hanya tersenyum saja. Dia bercerita kenakalan saat dia kecil dan  pengalamannya sebagai orang tua tunggal karena istrinya meninggal saat melahirkan anak pertamanya.

Aku mendengarkan cerita Pandu dengan santai sambil menikmati bubur ayam yang dia bawa. Karena makan sambil mendengarkan cerita, tidak terasa aku hampir menghabiskan satu porsi bubur ayam itu. Padahal biasanya aku tidak nafsu makan.  Setengah jam kemudian Mas Pras kembali. Dia bersungut-sungut, lalu mengambil kotak bubur ayam yang belum selesai aku makan dengan kasar.

"Jangan makan sembarangan. Kamu masih belum sepenuhnya pulih," kata Mas Pras yang membuat aku kaget begitu pula Pandu.

"Mas Pandu, ini sudah setengah tujuh, lo." Mas Pras memperingatkan Pandu yang bagiku lebih terkesan seperti mengusir secara halus.

" Oh, iya, saya lupa. Nanti saya terlambat. Saya pergi dulu ya, Mbak, Mas," pamitnya sambil menyalami Mas Pras. Dia berlalu. Mas Pras tersenyum kecut melihat kepergian Pandu.

"Ngapain sih, kamu senyum-senyum kayak gitu tadi saat bicara sama dia?" tanyanya sewot. Aku tak menjawab. Hanya keheranan tak mengerti apa maksudnya. "Kalau berantem sama dia, marah-marahnya jangan sama saya," batinku.

"Kenapa? Ga boleh?"tanyaku kesal.

"Jelas, ga boleh!" dia menjawab dengan nada yang semakin meninggi. "Dia itu duda," lanjutnya lagi.

"Trus masalahnya apa?" aku semakin tak mengerti mengapa tiba-tiba ia marah-madah tak jelas.

"Kamu istriku. Ngerti?" Kali ini aku tersenyum mendengar kata terakhirnya. Rupanya dia cemburu.

(Bersambung)

Suamiku Bukan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang