Suamiku Bukan Suamiku Part 14

11.1K 539 2
                                    

Aku merasa sudah bosan berada di rumah sakit ini. Tapi dokter belum mengijinkan untuk pulang, sebelum rasa pusing dan sakit di leher benar-benar hilang. Rasa rindu pada kedua buah hatiku sudah tak terbendung lagi. Membuatku tak bisa tidur malam ini.

"Kok, belum tidur?" tanya Mas Pras kepadaku sambil tiduran di sofa

"Aku kangen sama Aya dan Alya," kali ini aku merespon pertanyaannya.

"Sudahlah, mereka baik-baik saja. Jangan khawatir," ucapanya sambil beranjak duduk.

"Tapi aku benar-benar kangen, Mas." Aku terisak merasakan rindu yang mendera, Mas Pras mendekati dan memelukku.

"Ratih, maafkan aku. Semua ini terjadi karena aku. Kau pasti marah padaku. Tapi percayalah Ratih, semua yang kau lihat tidak seperti yang kamu pikirkan."

"Lalu aku harus berpikir bagaimana Mas, setelah semua yang aku lihat dan semua yang aku alami?"

"Aku mengerti Ratih, aku ngerti. Saat aku melihatmu berada di UGD, betapa aku merasa berdosa telah membuat ibu dari anak-anakku, orang yang seharusnya aku lindungi harus berada antara hidup dan mati, karena aku. Apa lagi saat kau tidak sadarkan diri hanya namaku yang kau sebutkan. Saat itu baru aku menyadari, begitu besar cintamu padaku." Bisiknya dengan suara lirih. Aku berusaha melepaskan pelukannya.

"Aku mohon padamu, tolong jangan kau hukum aku dengan kemarahanmu. Maafkan aku." Ada bulir bening yang mengalir dari sudut matanya.

"Lalu dia?"

Dia menghela napas. Dan menggeleng pelan "Entahlah."
Jawaban terakhirnya yang terkesan menggantung membuat lecutan kemarahan kembali hadir di dadaku. Namun, saat melihatnya menangis, memohon maaf padaku amarah itu hilang entah kemana.

"Tidurlah, besok aku akan minta Mama untuk membawa Aya kemari," ucapa Mas Pras sambil mengusap air matanya.

"Alya?"

"Ini rumah sakit. Alya masih kecil. Akan sangat beresiko membawanya kesini."
"Kau harus cepat sembuh, supaya bisa cepat pulang ke rumah. Makan yang banyak, istirahat yang cukup, dan..."

"Dan?"

"Dan tidak usah berpikir macam-macam," jawabnya sambil membenahi posisi bantal dan merapikan selimutku.

------

Hari ini aku sangat gembira. Karena besok sudah di perkenankan pulang oleh dokter. Dan lebih senang lagi karena Nina datang berkunjung menjengukku. Tidak hanya Nina, banyak kerabat dan handai taulan datang berkunjung memberiku doa dan semangat supaya lekas pulih.

Mas Pras pulang lebih awal, selepas sholat Jum'at dia tidak kembali ke kantor tapi langsung ke rumah sakit untuk menjagaku, menggantikan Mama yang sudah menjagaku sejak pagi saat Mas Pras bekerja.

"Assalamualaikum." Suara beberapa orang mengucapkan salam secara serempak.

"Waalaikumsalam." Mas Pras menjawab salam itu. Ternyata teman-teman sekantor Mas Pras yang datang.

Mas Pras menyambut dan  mempersilahkan mereka masuk. Mereka semua berenam empat orang pria dan dua orang wanita.

"Apa kabar Ibu, kenalin saya Aca." ucap salah satu gadis manis dengan wajah khas Jawa. Dia menyalami dan mencium pipi kiri dan kananku. Padahal aku risih, karena beberapa hari belum mandi, hanya seka saja.

"Dan ini Bu Nadia." Orang yang di perkenalkan Aca datang menyalamiku juga tak lupa dengan cipika cipiki juga.

"Kalo yang berlesung pipit itu Pak Firman, Trus yang kurus itu Pak Andi, yang agak-agak black sweet itu Pak Rio, yang paling sehat itu Pak Reza." Gadis bernama Aca memperkenalkan teman-temannya satu persatu dengan gayanya yang tengil namun terkesan kocak. Sedangkan orang yang diperkenalkan hanya tersenyum melihat tingkahnya.

"Mbak Aca ini kelihatannya kalem, ya. Tapi ternyata..." aku menggantung kalimatku.

"Ternyata nyenengin ya, Bu," timpalnya dengan percaya diri sambil terkekeh. Disambut ucapan "Hu..." dari teman-temannya.

"Aca itu nama lengkapnya acakadul," celetuk Pak Reza disambut tawa oleh orang-orang di ruanganku.

"Akhirnya, Aca bisa ketemu Bu Ratih." Aku hanya tersenyum saja mendengar celoteh Aca.

"Pak Pras sih, ga pernah ngajakin Ibu Ratih kalau ada acara," lanjutnya.

"Diajak kok. Cuma orangnya ga mau," ucap Mas Pras membela diri.

"Bukan gitu, Mbak. Saya yang tidak mau. Anak-anak masih kecil. Takut ruwet di acara nantinya," sanggahku secara halus. Walaupun apa yang dikatakan Aca itu benar adanya, tapi bukankah aku harus menjaga nama baik dan wibawa suamiku pada bawahannya.

"Eh... Bu Lily kemana, ya? Kok ga datang." Bu Nadia yang dari tadi hanya senyum-senyum mendengar candaan Aca dan temannya yang lain tiba-tiba bersuara. Hatiku mencelos mendengar nama itu. Aku dapat  melihat perubahan ekspresi pada raut wajah Mas Pras. Yang tadinya santai berubah menjadi agak kikuk. Aku berpikir apa berani wanita itu datang menemuiku?

"Ini dia WA sama aku, katanya ban motornya bocor," ucap Aca sambil memasukkan hape ke dalam tas hitamnya.

"Alasan!" batinku berteriak. Aku berdoa supaya dia tidak datang saja.

"Trus gimana ini, kita nunggu Lily atau pulang duluan?" tanya Pak Andi meminta pendapat pada teman-temannya yang lain.

"Tunggu ajalah, kasian," ucap Pak Reza.

Setengah jam berlalu. Yang ditunggu belum juga datang, Bu Nadia tampak gelisah.

"Duh, saya lupa. Anak saya gak ada yang jemput pulang dari madrasah." Bu Nadia buka suara.

"Saya juga, ada acara kondangan habis ini." Pak Firman menimpali.

"Ya sudah deh, kita pulang aja duluan. Biarin dah Lily nanti sendiri. Toh ada Pak Pras yang..." ucapan Aca terhenti karena lengannya disikut oleh Bu Nadia yang membuat Aca menjadi salah tingkah.

Mereka berenam pamit. Sebelum mereka semua keluar dari ruanganku, perempuan itu datang. Mas Pras menyambutnya dengan kaku. Dia tersenyum manis, tapi bagiku terlihat seperti seringai serigala yang licik. Punya nyali juga rupanya dia.

(Bersambung)

Suamiku Bukan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang