Suamiku Bukan Suamiku Part 11

10.7K 529 4
                                    

Pagi ini berjalan seperti biasa, aku menyiapkan keperluan sekolah Aya, mengurus Alya dan menyiapkan sarapan. Mas Pras sedang Mandi , saat aku sedang menyuapi Alya Bubur di depan televisi sambil menonton kartun kesayangannya. Aku lihat hape Mas Pras tergeletak di meja, saat ada panggilan masuk dari Miko, begitu yang tertera di layar telepon itu. Aku terima, belum sempat aku bicara, penelpon di seberang sudah nyerocos dulu,
" Mas, cepetan. Aku mau ambil pesenan jilbabku, keburu aku pake ke kantor, nih."

"Jilbab?" tanyaku.

"Eh.. Ehmmm anu, Bu, Mas Pras mana?" suara si penelpon terdengar gugup.

"Mandi." Jawabku pendek, mungkin terkesan sinis.

"Ya sudah, Bu." Sambungan terputus. Aku tersenyum geli setelah menerima telepon tadi. Namanya Miko, suaranya cewek. Nampaknya Mas Pras mulai pintar bermain kucing-kucingan. Dia memberi nama Miko, padahal aku yakin itu tadi Lily, karena aku pernah bicara di telepon sebelumnya. Baiklah kalau begitu, akan aku ikuti permainan ini. Entahlah, mengapa sekarang aku tak merasa sakit hati?

Mas Pras sudah keluar dari kamar mandi, Sambil memasang dasi di depan cermin dia bertanya padaku.

"Bicara sama siapa?"

"Miko."  Mas Pras yang tadinya santai menjadi salah tingkah.

"Mas, cepetan. Aku mau ambil pesenan jilbabku, keburu aku pake ke kantor, nih." Aku bicara menirukan nada Miko di telepon. Mas Pras tidak berkata apa-apa. Dia hanya bergaya sok sibuk dengan dasinya yang dari tadi tidak selesai-selesai dan pura-pura tidak mendengarku.

Aku mencolek lengannya dengan tengil, "Sejak kapan Miko pake jilbab? Ha..ha.." Lagi-lagi dia tak menjawab. Dia hanya mendengus kesal. Kemudian pergi meninggalkanku yang terkekeh, melihat raut wajahnya yang menurutku lucu.

Mas Pras berangkat dengan tergesa, tak sempat sarapan, Ada tugas mendesak katanya. Tugas dari Lily. Eh, bukan dari Miko, mungkin. Aku khawatir jika ia tidak sarapan, Mas Pras punya penyakit maag yang parah. Jadi aku rencanakan untuk menyusulnya ke kantor, membawakannya makanan.

------

Aku memacu motorku dengan kecepatan sedang, sengaja aku berangkat ke kantor Mas Pras tiga puluh menit lebih awal sebelum jam istirahat, agar sampai di sana tepat waktu. Namun sial, ban motorku kempes. Aku harus mencari tambal ban terlebih dahulu, sebelum melanjutkan perjalanan. Sampai di sana mobil Mas Pras aku lihat sudah tidak ada. Aku masuk melalui pintu nasabah tidak melalui pintu samping yang diperuntukkan khusus untuk pegawai bank.

"Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?" tanya satpam itu ramah sambil membukakan pintu. Aku hanya tersenyum tidak segera menjawab sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

"Ibu mau setor atau mau menarik uang?" tanyanya lagi. Saya menggeleng.

"Saya mencari Pak Prasetyo Wijadmiko. Saya istrinya."

"Pak Pras keluar, Bu. Ini ,kan jam makan siang." Jelasnya padaku.

"Makanya saya kemari, kalau jam kantor kan ga boleh, Pak."

"Ibu, telepon Bapak aja, biar cepat pulang"

"Lupa ga bawa hape saya."

" Mari saya antarkan ke ruangan, Bapak."

"Oh, ga usah. Saya mau menunggu di sini saja. Kalau di ruangan bapak, saya sendiri. Bosen. Kalau di sini kan bisa lihat-lihat."

" Baiklah, Ibu silahkan duduk disini." Ucap satpam itu sambil mempersilahkan aku duduk.

Aku duduk di kursi tamu dekat pintu masuk. Kulihat di bagian teller ada dua orang yang kosong dengan tanda sedang istirahat di mejanya. Dan dua orang lagi masih melayani nasabah.

Setengah jam aku menunggu, Mas Pras belum datang juga. Lelah menunggu, aku berpikir hendak pulang saja, khawatir Alya yang aku titipkan di rumah ibu mertua mencariku. Karena aku pikir pasti Mas Pras sudah makan di luar. Ketika aku hendak beranjak dari kursi,  kulihat mobil Mas Pras masuk parkiran. Mas Pras keluar dari mobil, tapi tidak sendiri. Dia bersama seorang wanita cantik. Tubuhnya tinggi semampai khas pegawai bank. Dia juga ramping tapi berisi. Kulitnya tidak putih tapi bersih. Dari jauh senyumnya terlihat manis sekali. Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor sambil mengobrol dengan akrab. Saking asyiknya mereka tidak mengetahui kalau aku mengikuti di belakangnya.

"Menurutku, sambalnya kurang pedes, deh." Wanita itu beceloteh dengan riang."

"Ih, kayak gitu kurang pedes. Bibirku aja rasanya jontor karena kepedesan." Ucap Mas Pras menimpali.

"Jangan makan pedes-pedes, Mas. Nanti asam lambungnya naik, lho." Sengaja aku menyela pembicaraan mereka.

Mas Pras dan wanita itu serempak menoleh ke arahku. Mas Pras tampak begitu terkejut, berbeda dengan ekspresi wanita cantik disebelahnya yang tampak bertanya-tanya. Aku melangkah dengan santai dan tak lupa menyunggingkan senyum manis di bibirku.

"Ratih, kamu?" Mas Pras bertanya masih dengan ekspresi kaget.

"Ih.. awas minggir-minggir." Aku melangkah ke arah mereka, dan berdiri tepat di tengah-tengah.

"Sanaan, dikit!" Karena merasa sempit aku meminta Mas untuk bergeser ke belakang agar aku bisa leluasa berbicara dengan wanita itu.

"Kenalin, Ratih. Istri sah Pak Prasetyo," aku mengulurkan tangan pada wanita itu dengan penuh percaya diri tak lupa dengan senyum manis yang kubuat sedemikian rupa agar terkesan sinis. Ragu-ragu dia menyambut uluran tanganku.

"Apriliya Pratidina" ucapnya terbata.

"Udah tau. Tuh, di tanda pengenal sudah tertera.Maksudnya panggilannya siapa?" tanyaku padanya.

"Lily." Jawannya pendek.

Degghhh... wanita ini yang bernama Lily. Akhirnya aku bertemu dengannya. Kuakui Lily memang wanita yang sempurna. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, matanya bulat dengan bulu yang lentik, alisnya melengkung indah seperti ulat bulu. Pantas saja, Mas Pras tertarik padanya.

Sekilas menurutku dia mirip dengan Mas Pras. Banyak orang yang bilang, bila sepasang kekasih wajahnya mirip itu tandanya mereka berjodoh. Apa iya dia berjodoh dengan suamiku? Lalu aku apanya?

"Ratih... Ratih," Mas Pras menyadarkanku dari lamunan. Ternyata tanpa sadar aku meremas tangan Lily terlalu kuat sehingga dia meringis kesakitan. Aku terkekeh kemudian melepaskan tangannya.

"Santai saja." Ucapku pada Mas Pras sambil mengedipkan mata.

"Maaf saya permisi." Pamit Lily sambil berlalu dengan wajah yang cemberut. "Cemberut aja, masih cantik," aku membatin. Aku menyusul dan menjajari langkahnya kemudian menghadang jalannya.

"Eh... kok buru-buru, sih. Padahal saya mau mengucapkan terimakasih, lho. Udah mau menemani suami saya ngobrol tiap malam sampai larut." Ucapku dengan nada bicara sok akrab dan wajah tulus yang kubuat-buat.

"Maaf saya buru-buru." Dia pergi dan kali ini aku tak mencegahnya.

"Apa-apaan sih kamu?" Mas Pras menghampiriku.

"Cuma bilang terima kasih. Salah?" jawabku dengan nada tak berdosa.

"Kamu gila, Ratih." Ucapanya setengah berbisik, tapi aku tau ada kemarahan yang tertahan, terselip dalam kata-kata itu.

"Oh, ya? Untung aku masih sabar, kalau enggak, sudah aku bunuh kalian berdua." Ucapku dengan nada mengancam dan sorot mata yang tajam. Mas Pras bergidik. Aku terkekeh melihatnya.

"By the way. Cantik." Ucapku sambil berlalu meninggalkan Mas Pras yang masih berdiri mematung di koridor.

Aku memberikan makanan yang aku bawa dari rumah kepada Pak Satpam. Panas udara siang ini tak sepanas suasana hatiku. Di balik helm yang aku kenakan air mata ini mengalir deras. Karena tidak konsentrasi menyetir, tiba-tiba....
Braaakkkkkk!!!!
Kurasakan tubuhku terhempas. Kepalaku tiba-tiba pusing. Aku tak sanggup menggerakkan badanku. Mataku terasa berat. Dan semuanya gelap.

(Bersambung)

Suamiku Bukan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang