Suamiku Bukan Suamiku Part 24

14K 523 0
                                    

Mas Pras terus melangkah menuju taman belakang, di mana Aya dan Alya sedang bermain di temani oleh asisten rumah tangga Ibu. Dia kembali dengan menggendong Alya di tangan kiri dan menuntun Aya di tangan kanannya.

"Ayo, pulang," ajaknya padaku.

"Papa, Aya mau nginep di rumah Eyang. Ya, boleh, ya," pinta Aya dengan manja.

"Jangan, besok sekolah" jawabnya datar

"Yah... Papa. Aya kan pengen dengerin cerita Eyang. Papa gak pernah ceritain Aya kalau mau tidur," ucapnya sewot sambil memonyongkan bibir mungilnya.

"Biarlah dia di sini, Pras. Toh, nanti dia juga akan tinggal sama Ibu," ujar Ibu menyela pembicaraan Mas Pras dan Aya. Gadis kecilku yang ceriwis itu terlihat bengong mendengar ucapan eyangnya.

"Sayang, nanti Mama yang cerita ya. Sekarang Aya pulang dulu. Besok main lagi ke sini, ya," ucapku berusaha menenangkan Aya.

Kami berpamitan pada Ibu, kemudian kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, Aya manyun dan Mas Pras masih terlihat murung. Untungnya Alya tidak rewel. Ia tertidur pulas di pangkuanku.

Sesampai di rumah, Aya langsung masuk ke kamarnya. Memeluk guling dan memejamkan mata. Rupanya dia masih jengkel. Padahal biasanya dia akan tidur jika aku atau Mas Pras menemaninya.

"Ratih, boleh aku tanya padamu?" Mas Pras menghampiriku di ruang tengah sambil membawa dua cangkir teh hangat, tidak seperti biasanya, dia hanya membuat teh untuk dirinya saja. Aku hanya mengangguk, tanda mengiyakan.

"Mengapa tiba-tiba kau mengijinkanku menikahinya? Bukankah dulu kau sangat membencinya? Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyanya menyodorkan satu cangkir teh itu padaku.

"Karena aku hanya ingin melihatmu bahagia. Selama ini aku tak pernah melihatmu memperjuangkan aku, seperti kau memperjuangkan Lily. Tatapanmu, ceriamu, perlakuanmu sangat berbeda. Aku tahu kau sangat mencintainya. Betapa beruntungnya dia," ucapku datar

"Kau benar-benar ikhlas?" tanyanya dengan raut wajah serius.

"Aku tidak tahu. Tapi aku akan berusaha. Anggap saja ini balas budi, karena kau telah bersedia menikah denganku dan menafkahiku dengan layak," aku berhenti sejenak mengesap nikmatnya teh hangat buatan suamiku untuk yang pertama kalinya. "Hanya satu pintaku, setelah kau menikah lagi nanti, tolong waktumu untuk anak-anak jangan berkurang," lanjutku dengan nada sedikit memohon atau lebih tepatnya memelas.

Mas Pras tidak menjawab, dia memberikan hapenya padaku. Hape yang tak pernah ia perbolehkan untuk aku sentuh. Rupanya dia menunjukkan foto pusara di sana, dengan batu nisan bertuliskan nama Srianingsih. Aku mengerti, ini pasti makam Bu Sri, ibunya Lily. Dari batu nisan itu diketahui bahwa Bu Sri, sudah meninggal sepuluh hari yang lalu. Ada rasa bersalah dalam hatiku. Aku tak bisa mewujudkan permintaan terakhir wanita tua itu.

"Kenapa Mas baru memberi tahu?"

"Aku juga baru tahu, itupun dari teman," sahut Mas Pras datar.

"Kok gitu?" tanyaku heran.

"Sejak kejadian sore itu, Lily mengundurkan dari kantor. Dia juga tidak mengangkat teleponku, bahkan sms dan BBM ku pun tidak dibalasnya," jelasnya padaku diakhiri dengan dengusan kesal.

"Hmm... Besok kita takziah, ya Mas aku ikut. Sekalian ngomongin pernikahannya Mas dan Lily," ucapku datar walau sebenarnya masih penasaran terhadap perubahan sikap Lily.

-------

Sore ini aku mempersiapkan diri sebaik mungkin, rencananya aku dan Mas Pras akan takziah ke rumah Lily. Aya dan Alya aku titipkan di rumah Ibu, supaya tidak mengganggu ketika kami berbicara.

Kami tiba di sebuah rumah kecil di ujung gang komplek perumahan itu. Tak ada yang istimewa dari rumah sederhana itu, modelnya sama saja dengan rumah-rumah di sekitarnya hanya beda warna cat saja. Ada beberapa tanaman bunga hias yang tampak tidak terawat. Daun-daunnya sudah banyak yang layu, dan ditumbuhi rumput liar.

Mas Pras mengucapkan salam, sebentar kemudian Lily membuka pintu. Matanya sembab, wajahnya kuyu tubuhnya semakin kurus. Dia nampak terkejut melihat kedatanganku bersama Mas Pras. Dia mempersilahkan kami masuk.

"Lily, mengapa kau tidak mengabariku? Mengapa aku tau dari orang lain?" Mas Pras langsung mencecarnya dengan pertanyaan.

"Aku rasa tidak perlu," sahutnya ketus.

"Kami turut berduka cita, semoga Ibumu khusnul khotimah. Kamu juga yang sabar ya," ucapku tulus. Dia tersenyum mencibir.

"Terima kasih, atas simpatinya," ujarnya masih ketus.

"Lily, aku ke sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu." Lagi-lagi dia tersenyum kecut. Jantungku berdegup kencang. Inilah saatnya aku melamar wanita untuk suamiku. Aku menarik napas panjang agar lebih tenang.

"Aku minta bersedialah menjadi saudaraku,  menikahlah dengan suamiku," pintaku hati-hati takut membuatnya tersinggung. Aku tak tahu lagi seperti apa kata-kata yang tepat untuk meminangnya. Semoga saja dia tidak tersinggung.

Dia mengangkat sebelah alis ulat bulunya, kemudian tawanya pecah seketika. Aku dan Mas Pras berpandangan, merasa heran dengan reaksinya.

(Bersambung)

Suamiku Bukan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang