Suamiku Bukan Suamiku Part 15

10.8K 528 8
                                    

Lily melangkah dengan mantap menuju ke arahku. Dia terlihat anggun dengan setelan blazer merah muda berpadu dengan rok hitam panjang. Jilbab kotak-kotak merah muda kombinasi hitam serasi dengan baju yang ia kenakan, membuat wajahnya terlihat semakin manis.  Mata lentiknya terlihat bercahaya, bibir tipisnya menyunggingkan senyum. Dan aku paling suka dengan alis ulat bulunya.

Dia mengulurkan tangan dan aku menyambutnya, bagaimanapun saat ini dia adalah tamuku yang harus aku hormati.

"Bagaimana keadaanmu, Mbak? Aku turut gembira saat Mas Pras memberitahuku, kalau Mbak sudah sadar," ucapnya basa-basi.

"Seperti yang kau lihat. Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk bersama suami dan anak-anakku," jawabku dengan penuh kemenangan. Mas Pras diam saja, duduk di sofa dengan wajah tegang.

"Ya... Alhamdulillah banget, ya." Dia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang tanpa ada rasa canggung.

"Iya, berkat doamu. Aku tidak mati," ucapku dibuat seramah mungkin.

"Mbak, jangan ngomong gitu, ah."Ucapnya sambil membenahi jilbanya.

"Kenapa? Bukankah kamu ingin aku mati, supaya jalanmu bisa mulus," ucapku sinis

"Maksud Mbak?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

"Supaya jalanmu menikah dengan suamiku menjadi semakin mudah." Mata lentiknya terbelalak mendengar kata-kataku. Raut wajahnya berubah menjadi sedikit kesal.

"Rupanya kedatanganku disini tidak tepat. Aku pergi dulu." Dia beranjak dari kursi dan melangkah menuju pintu.

"Tunggu!" ucapku dengan nada memerintah. Dia menghentikan langkahnya "Bisa aku minta tolong padamu?"

"Apa?" tanyanya tanpa memalingkan wajahnya padaku. Namun lirikan mata lentiknya menunjukkan bahwa dia sangat terganggu oleh kata-kataku.

"Tolong jauhi suamiku. Pergilah jauh-jauh dari kehidupan kami. Kau bisa minta apapun padaku. Apapun itu. Tapi jangan suamiku." Pintaku dengan tegas.

"Ratih, apa-apaan kau ini." Mas Pras mendesis.

"Kau tak usah ikut campur, Mas. Ini urusan wanita. Antara aku dan dia." Mas Pras tercekat mendengar kata-kataku dia diam mematung di dekat sofa. Aku berusaha keras untuk mengendalikan emosi. Bagaimanapun ini adalah saat yang tepat untuk membuatnya pergi.

Lily berbalik, tampak air mata sudah membasahi kedua pipi mulusnya. "Mbak, aku tau, Mbak pasti benci padaku. Mbak pasti marah padaku. Tapi hari ini aku datang kemari benar-benar ingin tahu keadaaan Mbak. Aku merasa bersalah atas ini semua."

"Akting yang sempurna," ucapku sinis.

"Mbak  beruntung ada di posisi yang selalu dianggap benar, dan dianggap sebagai korban dari keadaan ini. Mbak tau rasanya jadi yang kedua? Ga kan?" Tampaknya dia bukan orang yang mudah mengaku kalah.

"Seluruh dunia menyalahkan aku, karena aku datang di saat kalian sudah ada dalam sebuah ikatan pernikahan. Yang bahkan aku sendiri tidak ingin berada di posisiku saat ini. Apa Mbak tau rasanya di tuduh melakukan sesuatu yang tidak pernah kita lakukan, Mbak tau rasanya?" Ucapnya berapi-api. Aku diam saja menyimak kata demi kata yang keluar dari bibir tipisnya.

"Aku juga tidak pernah berpikir ingin merusak rumah tangga orang. Tidak Mbak. Aku juga tidak ingin. Karena...karena..." dia ragu meneruskan kalimatnya.

"Karena..." aku menirukan kata terakhirnya sebagai perintah agar ia segera menuntaskan kata-katanya.

"Karena aku tahu rasanya mempunyai orang tua yang tidak lengkap. Ayahku hanya datang satu bulan sekali itupun hanya tiga hari. Dan aku tidak ingin ada anak-anak mengalami hal serupa, apalagi akulah penyebabnya." Kali ini dia berkata dengan nada sedih dan tatapan yang sendu.

"Lalu kau pikir aku akan bersimpati dan percaya semua kata-katamu," sinisku padanya.

"Aku tak minta mbak untuk itu. Aku hanya ingin Mbak tahu. Percaya atau tidak itu adalah hak Mbak."

"Lalu bagaimana jika kau di posisiku. Apa kau tau bagaimana rasanya jika suamimu meminta ijinmu untuk menikah lagi? Bagaimana perasaanmu jika suamimu berkata dia lebih mencintai orang lain dari pada kau, istrinya."

"Sekarang Mbak tahu sakitnya, kan? Untuk itu jaga Mas Prasku baik-baik. Betapapun dia mencintaiku. Kami tak akan bisa bersama. Karena aku hanya memiliki hatinya tapi tak memiliki takdir Tuhan untuk bersama," dia berkata dengan lirih diiringi air mata yang bercucuran.

Kalimat terakhirnya benar-benar terasa menghujam ulu hatiku. Apakah itu artinya dia sadar bahwa aku tak akan pernah membiarkan suamiku jatuh ke tangannya? Dan dia akan pergi meninggalkan Mas Pras.

Hening. Aku membisu menelaah kata-kata Lily. Sedangkan Lily masih berdiri mematung dengan tatapan kosong.

"Lily, Sebaiknya kamu pulang." Akhirnya Mas Pras buka suara. Memecah kebisuan di antara kita bertiga. Lily segera menghapus air mata di pipi mulusnya dan beranjak pergi meninggalkan aku dan Mas Pras.

(Bersambung)

Suamiku Bukan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang