Suamiku Bukan Suamiku Part 23

11.6K 531 20
                                    

Sebenarnya map itu bukan dari Ibu. Itu map dariku. Yang berisi surat pernyataan kesediaanku untuk dipoligami. Bukan tanpa alasan akhirnya aku mengizinkan Mas Pras untuk menikah lagi. Ini melalui pemikiran yang panjang, dan pergolakan batin yang sangat melelahkan. Aku hanya punya satu harapan, jika suatu saat Mas Pras akan tahu bahwa, ada seorang wanita yang akan selalu ada untuknya yaitu, aku istrinya. 

Bagi sebagian wanita ini adalah pilihan yang bodoh, begitu pula bagiku awalnya. Tapi bukankah sejatinya cinta bukan bagaimana kita memiliki tapi bagaimana kita bisa membahagiakan orang yang kita cintai.

Mungkin bagi sebagian kaumku poligami adalah hal yang sangat menakutkan. Sebenarnya bukan lebih masalah takut kasih sayang suami terbagi tapi masalahnya bagaimana bisa berdamai dengan ketakutan yang ada dalam diri.

"Ratih, ini???" Aku mengangguk mantap. Mas Pras menatapku dengan tatapan seolah tak percaya.

"Nikahilah Lily, aku ikhlas," ucapku lirih, tiba-tiba ada rasa haru menyeruak dalam dadaku. Aku tak dapat membendung air mataku, rasanya aku sudah melepaskan beban yang begitu berat di pundakku.

"Lalu Ibu..."

"Jangan khawatir tentang Ibu, aku yang akan bicara pada Ibu."

Ada bulir bening yang mengalir dari sudut mata sayu Mas Pras. Dia merengkuhku, "Terimakasih, Ratih. Aku akan berusaha untuk adil." Aku tersenyum getir. Meskipun masih ada ragu yang menggelayut. Bukankah keputusan ini sudah di ambil.

----------

Sesuai janjiku, malam ini aku dan Mas Pras menemui Ibu untuk membicarakan pernikahan kedua Mas Pras. Ibu terkejut dengan keputusanku, karena sebelumnya Ibu tahu jika aku tidak mau dimadu. Bukan hal yang mudah meyakinkan Ibu, apalagi Ibu juga mengalami trauma diduakan oleh almarhum Ayah. Tapi berkat penjelasanku Ibu akhirnya melunak.

"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu, Nak?" tanya Ibu dengan sorot mata penasaran.

"Iya Bu," sahutku mantap.

"Ibu harap kau tidak menyesal dengan keputusanmu ini," ujar Ibu sambil melangkah menuju jendela ruang keluarga yang terbuka.

"InsyaAllah Bu," jawabku pendek.

"Tapi, Ibu masih ragu. Ibu harus tahu seperti apa dia. Apakah dia memang pantas untuk anakku? Aku tak akan menyerahkan putraku pada orang sembarangan. Kalau perlu dia harus berada di atas Ratih dalam segala hal," ucap Ibu tanpa menoleh kepada kami. Ia masih saja berdiri di dekat jendela dan melihat ke arah luar. Mas Pras hanya diam, dia menghela napas berat.

"Sebelum kau menikah nanti, segala bentuk kekayaan dan tabungan Ibu minta segera di atas namakan Aya dan Alya dengan Ratih sebagai walinya. Gajimu juga, Ratih yang akan mengatur semua pengeluaranmu, berikut jatah untuk wanitamu itu. Ingat, Ibu mau ada perjanjian hitam di putih. Ibu juga tidak mau memiliki cucu selain dari Ratih. Kau mengerti, Pras? Satu hal lagi, jangan pernah membawa wanita itu kehadapan keluarga besar kita, Ibu tidak sudi.
"Ibu...."  Mas Pras mendesis pelan, tampaknya ia merasa keberatan.

"Ini keputusan Ibu, kalau kau masih mau dianggap anak!" ucap Ibu tegas dengan setenfah mengancam.

"Ibu, jangan..." Ibu memotong sebelum aku menyelesaikan kata-kataku.

"Kau terlalu lemah karena cintamu, Ratih. Ini Ibu lakukan ini untuk cucu Ibu."

Mas Pras menelan ludah. "Baiklah, Bu. Secepatnya Ratih akan bawa wanita itu menemui Ibu," aku menjawab mantap.

"Baguslah, lebih cepat lebih baik. Biar cepat selesai masalah ini. Pras, Ibu ingin bicara berdua saja dengan Ratih, bisa kau tinggalkan kami," pinta Ibu.

Mas Pras segera menuruti perintah Ibu. Ia keluar membawa motor matic Ibu yang terparkir di halaman entah kemana. Ibu mendekat, dan duduk di sebelahku.

"Nak, Ibu tanya sekali lagi, kamu yakin dengan keputusanmu ini?"

"Iya, Ibu. Ratih sangat yakin. Asal Mas Pras bahagia, Ratih juga bahagia, Bu."

"Omong kosong!"

"Ibu, tolong hargai keputusan Ratih, ini untuk kebahagiaan Mas Pras, putra Ibu. Bukankah Allah memberi ujian kepada hambaNya sesuai dengan kemampuannya Ibu. Berarti Ratih mampu, kan Bu."

"Ibu, benar-benar tidak mengerti jalan pikiran kamu."

Ibu kemudian diam. Keadaan hening. Beberapa saat kemudian Mas Pras kembali. Ia masuk dengan langkah gontai dengan wajah lesu.

(Bersambung)

Suamiku Bukan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang