Suamiku Bukan Suamiku Part 16

10.8K 551 8
                                    

Selepas kepergian Lily, aku dan Mas Pras masih membisu untuk beberapa saat lamanya. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Dia menatap kosong ke arah pintu. Mungkin dia sedang kepikiran pada Lily, namun tak tega meninggalkan aku sendiri di sini. Sedangkan aku berusaha setenang mungkin agar aku tak terbawa emosi. Aku ingat pesan Ibu.

------

Malam itu....

Ada suara motor berhenti di depan rumah. Aku tak segera keluar, takut karena ini sudah lewat jam sembilan malam.  Aku mengintip dari balik tirai jendela. Dua orang perempuan. Ternyata itu adalah Ibu dengan salah satu karyawan toko yang selalu mengantarkan Ibu. Akupun segera membuka pintu pagar.

"Ibu, kok malem banget?" tanyaku pada Ibu sambil mencium punggung tanggannya takzim.

"Mana Pras?"

"Ehm... anu itu lembur, Bu." Ucapku sedikit gugup. Aku mempersilahkan Ibu dan Mbak karyawan itu masuk.  Ibu langsung menuju ke ruang tengah. Sedangkan Mbak karyawan itu duduk di ruang tamu.

Di ruang tengah aku duduk di kursi yang berseberangan dengan Ibu. Tatapan Ibu yang teduh, membuat aku merasa bersalah telah berbohong padanya.

"Nak, Ibu tanya sekali lagi, Pras kemana?"

"Lembur, Bu."

"Jujur?" Pertanyaan Ibu seperti menikam ulu hatiku. Aku tak kuasa membendung air mataku.

"Nak, ada apa sebenarnya antara kamu dan Pras? Mengapa setiap malam dia ada di toko. Kalau Ibu yang tanya dia hanya bilang sibuk. Makanya Ibu tanya kamu. Ada apa, Nak?" tanyanya lembut.

"Ibu, Mas Pras punya wanita lain dan dia bilang ingin menikahinya." Aku terisak, kurasakan sesak di dada harus mengatakan ini semua. Mungkin ini saatnya Ibu mengetahui keputusanku untuk berpisah dengan Mas Pras.

"Lalu? Apa kau mengijinkannya?"

Aku menggeleng lemah. "Ratih memilih untuk mengalah Ibu." Jawabku lirih dengan suara parau.

"Hmmmm... Tak kusangka menantuku ini wanita yang lemah. Menyesal aku menuruti suamiku menikahkan Pras denganmu, Nak." Kata kata ibu menohok perasaanku.

"Ibu pikir kau adalah wanita yang tangguh saat kau meminta segera dinikahkan dengan Pras dulu, walaupun kau tau Pras menentang pernikahannya. Tapi, cuma segini nyalimu. Kau mati-matian ingin menikahi Pras tapi ada godaan sedikit kau menyerah. Mana Ratih yang dulu? Mana Ratih yang gigih mengejar Pras. Mana?" Ibu berucap setengah berbisik dengan nada yang tegas.

"Lalu Ratih mesti gimana, Ibu?" Air mataku tumpah di pelukan Ibu, ia membelai lembut kepalaku.

"Nak, Ibu dulu juga pernah berada di posisimu. Ibu mengerti rasa sakitmu. Berjuanglah, Nak. Perjuangkan hakmu demi anak-anakmu, cucu Ibu. Buat Pras tak bisa lari darimu. Ibu selalu bersamamu. Ibu juga akan memperingatkannya nanti." Ibu melepaskan pelukannya.

"Kau ingat, janjimu pada mendiang Ayah mertuamu? Apa kau sudah lupa? Bahwa kau tak akan meninggalkan Pras apapun keadaannya. Kau ingat?" Ibu memegang kedua bahuku dan menatapku dengan penuh keyakinan.

"Lakukan apa saja supaya Pras tetap bersamamu. Jangan hanya menangis. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Kau harus bangkit, harus kuat. Menantuku hanya Ratih, tidak yang lain." Ibu menghapus air mataku. Senyum dan kata-kata Ibu seperti memberi kekuatan baru padaku.

-----

"Assalamualaikum," suara orang yang datang membuyarkan lamunanku.

"Waalaikumsalam," aku dan Mas Pras menjawab serempak. Mas Pras tersenyum kecut melihat orang yang baru saja masuk ke ruanganku. Pandu datang bersama seorang anak laki-laki gemuk dengan usia sekitar lima tahunan.

"Itu Om Pras, dan yang berbaring di situ Tante Ratih, salim dulu, gih," Pandu bicara lembut pada anak laki-laki yang bersamanya.
Anak laki-laki menghampiri Mas Pras untuk bersalaman kemudian menghampiriku.

"Namanya siapa, Sayang?" tanyaku sambil menyambut uluran tangannya.

"Falel." Sahutnya

"Farel Tante." Pandu menirukan ucapan anak lelaki itu sambil menyalami Mas Pras.

"Farel ini anakku yang kuceritakan kapan hari. Oya, anak mbak berapa?" tanyanya padaku.

"Dua cewek semua."

"Pasti cantik kayak Mamanya, ya," ucap Pandu sambil duduk di sofa memangku anak lelakinya.

"Iyalah, masa' kayak tetangga," sela Mas Pras dengan sinis, yang justru membuat Pandu tergelak.

"Kalau menurut mitos di keluargaku ya, Mbak,  jika anak pertama laki-laki berarti cinta suami lebih besar dari pada istrinya. Begitupun sebaliknya, kalau anak pertama perempuan berarti cinta istri lebih besar dari pada suaminya," jelas Pandu.

"Oya? Baru tau nih," ucap Mas Pras, mengerling sekaligus tersenyum simpul kepadaku sebagai tanda kemenangan.

"Untung cuma mitos ya," ucapku berusaha menyanggah pernyataan Pandu.

"He... iya, tapi biasanya bener lo Mbak" Pandu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ooo... iya kayaknya banyak benernya itu," ucap Mas Pras dengan angkuh membuat aku menjadi jengah.

"Tante Latih," Farel yang dari tadi hanya bengong menonton televisi yang terpasang di dinding kamarku, menyela pembicaraan kami dengan wajah agak ketakutan.

"Iya sayang, ada apa?"

"Jangan lapolin Ayah Falel ke Pak Polisi. Nanti Ayah Falel di penjala. Telus Falel tinggal sama siapa?"ucapnya dengan cadel.

"Farel, sini sayang." Aku melambaikan tangan padanya agar mendekat.

"Buat apa Tante lapor polisi?"

"Kan Ayah Falel dah nablak Tante," sahutnya dengan raut wajah sendu.

"Itu bukan sebuah kesengajaan dan lagian Tante juga salah kok, Tante kurang hati-hati. Udah, Farel ga usah mikir macem-macem. Besok Tante dah pulang kok." Farel menarik napas lega.

Farel anak yang lucu. Pipinya tembem, bibirnya mungil, matanya sipit khas wajah oriental. Dia juga termasuk anak yang kritis untuk anak seusianya. Kehadiran Farel dan Pandu membuat ketegangan antara aku dan Mas Pras sedikit mencair.

Setengah jam berlalu, Farel mulai terlihat bosan
"Ayah, ayo pulang katanya mau beli es klim," rengek Farel sambil menarik tangan ayahnya.

"Iya, Ayah pamit dulu sama Om dan Tante," ucap Pandu pada anaknya. Farel mengerti maksud ucapan Pandu, dia segera bersalaman dulu padaku dan Mas Pras.

"Oya Mbak, besok pulang jam berapa? Biar aku urus semuanya."

"Ga usah repot, ya. Ratih masih ada saya, suaminya. Saya bisa urus semuanya." ucap Mas Pras pada Pandu yang terkesan angkuh. Pandu menautkan kedua alisnya melihat reaksi Mas Pras.

"Eh.. iya sebentar, Nak," kata Pandu pada Farel yang dari tadi sudah menarik-narik tangannya mengajak keluar. "Saya pulang dulu ya Mbak, Mas, sampai ketemu besok." Aku hanya merespon ucapan Pandu dengan senyuman. Pandu dan Farel berlalu dari ruang rawatku.

"Owh... nampaknya ada yang senang nih," sindir Mas Pras padaku. Aku tak menjawabnya. Hanya mengangkat bahu dan tersenyum simpul. Entah ini hanya perasaanku atau memang benar adanya, setiap Pandu datang, Mas Pras berubah menjadi laki-laki yang paling menyebalkan.

(Bersambung)

Suamiku Bukan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang