Suamiku Bukan Suamiku Part 17

10.4K 543 4
                                    

Pagi ini aku sangat bahagia, karena bisa pulang ke rumah. Jenuh rasanya setelah lebih satu minggu berada di ruangan ini. Ingin segera sampai di rumah, bertemu Aya dan Alya.

Seorang dokter dan seorang perawat masuk ruanganku untuk melakukan pemeriksaan terakhir. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan dokter dan seorang perawat itu pergi.  Beberapa saat kemudian perawat itu kembali dengan membawa sekantong kresek obat. Dia menjelaskan bagaimana aku harus meminum obat itu, lalu ia membuka jarum infus ditanganku.

"Bapak bisa mengurus administrasi kepulangan Ibu sekarang," ucap perawat itu kepada Mas Pras. Mas Pras mengangguk tanda mengerti. Perawat itu berlalu. Mas Pras memintaku untuk menunggu sebentar. Belum sempat Mas Pras keluar ruangan, Pandu muncul dari arah pintu.

"Aku sudah urus semuanya," ucap Pandu dengan sumringah.

"Apa?" Mas Pras mendesis.

"Terimakasih, sudah merepotkan," sahutku basa-basi.

"Tidak apa-apa Mbak, ini sudah menjadi tanggung jawab saya, sebagai bentuk permintaan maaf. Sekali lagi saya mohon maaf ya, Mbak," ucap Pandu dengan tulus.

"Ish.." lagi-lagi Mas Pras tidak menjawab hanya mendesis pelan.

"Maaf saya tak bisa lama-lama masih ada tugas mengajar."

"Oh, iya silahkan kalau mau pergi," ucap Mas Pras ketus. Pandu mengernyitkan dahi, mungkin dia merasa terusir.

"Kan, kasian muridnya kalau harus nunggu," lanjut Mas Pras menetralisir keadaan.

"Mbak, boleh saya minta nomor hapenya?" tanya Pandu sambil mengeluarkan hape smartphonenya dari saku celana.

"Ini nomor hape saya saja. Ratih jarang-jarang pegang hape," Mas Pras menyela sebelum aku sempat memberi nomor hapeku kepada Pandu.

Pandu pamit setelah mencatat nomor hape Mas Pras. Aku dan Mas Pras segera meninggalkan rumah sakit. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan kedua buah hatiku, Aya dan Alya.

------

Satu minggu berlalu. Keadaanku semakin membaik. Keluargaku kembali normal seperti sedia kala. Aku merenungi kejadian yang aku alami beberapa bulan terkahir. Ah, betapa banyak sekali yang telah aku lalui. Mulai dari kehadiran Lily, kecelakaan, dan kecemburuan  Mas Pras pada Pandu yang tidak beralasan.

"Ratih, ayo masuk. Angin malam tidak bagus buat kesehatanmu," suara Mas Pras dari arah pintu mrngejutkanku.

"Mas sekarang jadi perhatian ya, tidak seperti dulu. Dulu Mas dingin, cuek padaku," sahutku tanpa menoleh ke arahnya.

"Kau suka? Bukankah itu yang kau harapakan?" tanyanya mencibir, sambil duduk di di kursi taman berseberangan denganku.

"Tentu, hanya saja..." aku menggantung kalimatku.

"Hanya apa?"

"Rasanya hambar." Mas Pras menghela napas tipis.

"Karena ada Pandu?"

"Tidak usah bawa-bawa Pandu."

"Kenapa?" tanyanya sinis.

"Kau kira aku bodoh, Pandu meminta nomor hape mu. Untung, aku pintar. Kuberi saja nomor hapeku," kilahnya, "Biasanya dari sms basa-basi, teleponan, ketemuan dan keterusan deh."

"Oh... pengalaman ya?" aku terkekeh. "Jadi ceritamu dengan Lele ups maksudku Lily seperti itu."

"Aku dan kamu beda"

"Jelaslah..."

"Laki-laki bisa menikah lebih dari satu kali, dan aku rasa kau juga tahu itu." Mas Pras berseru ketus.

"Tau," jawabku pendek.

"Tapi kau tidak mengijinkan."

"Siapa bilang?"

"Menikahlah seribu kali kalau perlu, tapi ceraikan aku dulu," ucapku dengan menatapnya tajam.

"Apakah keputusanmu tidak berubah."

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung situasi dan kondisi"

"Misalnya?"

"Aku yang akan mencarikan istri untukmu."

"Sungguh?"

"Ya, asal sesuai kriterianya menurutku," ucapku datar. Karena aku memang tak bersungguh-sunguh dengan ucapanku.

"Misalnya?" Mas Pras membenahi posisi duduknya.

"Cantik, pintar, penyayang, di sukai anak-anak dan cocok denganku."

"Lily?" ah... dia mengajukan nama itu lagi.

"Cantik iya, Pintar juga mungkin iya, tapi belum tentu disukai anak-anak," kilahku.

"Alasan," ujarnya kesal, aku terkekeh.

"Wanita yang mengerti hukum agama tak akan melarang suaminya menikah lagi," ucapnya sengit.

"Laki-laki yang taat agama akan menundukkan pandangannya dari wanita yang bukan mahramnya," sahutku tak kalah sengit.

Suara derit pintu pagar menghentikan perdebatanku dengan Mas Pras. Wanita setengah baya seumuran ibuku memasuki halaman. Diikuti seseorang yang sangat aku kenal. Dia adalah Lily. Ya Allah.. mau apa wanita itu kemari, dan siapa wanita setengah baya itu?

(Bersambung)

Suamiku Bukan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang