Flashback time!
o0o
"Jika kau ingin mengataiku vampir, sebaiknya tutup mulutmu!" ancamku. Karena kata ibu, mencegah lebih baik daripada mengobati. Sakit tahu kalau dituduh yang tidak-tidak itu.
"Vampir?"
Aku mengernyit melihat sebelah alisnya naik. Beberapa detik kemudian, tertawa terbahak seolah aku baru saja melawak. Hei, dia tidak gila, 'kan? Kami bukan di panggung stand up comedy, asal kautahu.
"Bisakah kau berhenti? Tawamu membuat kita menjadi pusat perhatian!" ucapku seraya menutupi wajahku dengan telapak tangan agar tak ada seorang pun yang mengenaliku dan akhirnya tertawa untuk mengejek penampilanku.
Ia berdeham sejenak setelah menghentikan tawanya, "Oke-oke, maafkan aku." tapi kembali, ia melirik gaya pakaianku, hell itu menyebalkan! Kalau menjadikan model bajuku sebagai trendsetter sih tidak masalah. "Ah, aku mengerti. Orang-orang sering menyebutmu vampir karena kau takut keluar rumah di siang hari dan tak pernah bersosialisasi, benar?"
Dia terkekeh kecil, membuat lekukan di dahiku semakin dalam."Ya, dan darimana kau tahu?" tanyaku penasaran. Aku mundur selangkah, mataku menyipit menatapnya menyelidik. Jangan-jangan dia adalah stalker yang pindah ke samping rumah dan pura-pura menjadi tetangga agar lebih mudah mengintaiku?!
Oh, shit. Aku benci penyakit paranoid ini.
"Pantas saja kau sesensitif ini," cibirnya pelan, tapi telingaku cukup tajam untuk menangkapnya.
"Lalu apa masalahnya kalau aku sensitif?!" tanyaku kesal. Hell, sebenarnya sekarang aku sedang datang bulan, jadi yeah ... wajar saja bukan.
Ia hanya tersenyum kecil, "Jadi apa tujuanmu ke rumahku?" dan mengabaikan pertanyaanku.
Merasa suhu di punggungku naik karena terpancar sinar sialan itu, aku mencoba untuk tak peduli dengan tingkah menyebalkannya dan memilih menyodorkan tupperware titipan ibu padanya, "Dari ibuku. Rumahku di sampingmu, dan salam kenal."
Ia menerima kotak itu lalu menatapku intens. Jangan harap aku akan menyelipkan rambutku di belakang telinga lalu tersenyum malu padanya. Dia itu menyebalkan dan aku sudah mencoret namanya dari list calon namja chinguku.
Ah, benar. Aku bahkan belum tahu namanya.
"Tubuhmu bergetar dan berkeringat. Ck, jadi benar, ya!"
"Hah?"
Aku baru saja ingin menanyai maksudnya, tetapi ia sudah lebih dulu menarik dan mendorong bahuku ke dalam rumah, sebelum akhirnya menutup pintu.
Hei, aku tidak akan diperkosa, bukan?
"Ini sudah sepuluh menit setelah kau tiba di rumahku, Bodoh! Seharusnya kau meminta masuk ke dalam jika sudah merasa tak nyaman. Kalau bukan kau, siapa lagi yang lebih peduli dengan kondisimu?! Seandainya bukan aku yang kaudatangi, aku tak bisa bayangkan apa yang terjadi padamu selanjutnya!"
Aku bergeming, bingung harus bereaksi apa. Hei, kupikir kami baru saja bertemu, mengapa dia bersikap seolah kami sudah lama saling kenal? Sikapnya barusan menunjukan bahwa dia sangat peduli dan tahu banyak tentang diriku.
Diam-diam aku tersentuh, tapi agak merinding juga sih ya. Aneh tidak sih, ada orang yang tiba-tiba care banget padamu padahal saling tahu nama saja belum? Wajar bukan jika aku cemas?
"Tunggu di sini," ia mendorong tubuhku sampai jatuh terduduk di sofa lalu tiba-tiba hilang entah ke mana. Melihat kemampuan larinya yang amat cepat, aku curiga jika dialah yang vampir.
"Pakai ini dan lap keringatmu dengan ini!"
Ia menyerahkan kaus oblong putih polos padaku dan secarik tisu. Ini orang kok perhatian banget, ya?
KALAU SEPERTI INI TERUS, MELELEH AKU!
"Eum, mengapa kau--"
"Penderita Heliophobia tak bisa merasakan panas. Sebaiknya cepat ganti baju anehmu itu. Kamar mandi ada di ujung sana."
Ah, jadi dia tahu, ya. Pantas saja ia sangat peduli. Tersenyum kecil, aku menuju toilet yang ia beritahu untuk mengganti baju.
Omong-omong, aku merasa bersalah karena telah berprasangka buruk padanya,
jadi kusarankan jangan suka su'udzon dengan orang lain ya, Teman.
—V a m p i r e ? —
Setelah melipat sweater dan syal, aku kembali ke tempat tadi. Kulihat ia sedang meminum soda sambil menonton televisi. Di sana juga sudah ada sekaleng biskuit dan kue beras ibu yang sudah disajikan dalam piring.
Melihatku, dia tersenyum tipis dan mempersilakanku untuk duduk. "Maaf, aku belum sempat membeli makanan, jadi hanya ini yang bisa kau makan."
"Ah, tak masalah. Lagipula aku tak akan lama di sini." ia mengangguk kecil, "omong-omong, terima kasih pakaiannya," aku tersenyum lebar padanya. "ini sangat nyaman!" seruku.
"Hn, lain kali jangan sungkan untuk meminta sesuatu. Sekarang kita tetangga, benar?"
Aku mengangguk cepat. Menyadari masih ada yang mengganjal di benakku, aku menatapnya penasaran, "Bagaimana kautahu jika aku penderita Heliophobia?"
"Semua orang pintar juga langsung tahu saat melihat gaya berpakaianmu," ucapnya santai, tapi terkesan membanggakan diri. Lihatlah senyum lebarnya yang angkuh! Itu sangat menyebalkan, sampai rasanya aku tak tahan untuk mencibir. "Sebenarnya selain itu, aku adalah salah satu mahasiswa jurusan psikologi di Universitas Tokyo, jadi ya ... kau tahu."
Mataku membulat, antusias. Mungkin irisku kini sudah berbentuk bintang. "Universitas Tokyo? Sungguh?!" astaga, itu universitas impianku. Hell, itu tempat bersekolah paling bergengsi di Jepang kalau kau lupa. Sejujurnya aku sangat ingin berkuliah di sana, tapi karena penyakit sialan ini, aku tidak bisa.
"Hn, tampaknya kau ingin masuk ke sana." Aku melotot, dia bisa tahu pikiranku!
Ah, aku lupa. Dia 'kan mahasiswa jurusan psikologi.
"Yeah, benar, tapi kau tahu kekuranganku, 'kan?" aku menunduk lesu. Tidak mungkin jika aku selalu berpenampilan seperti ini saat berkuliah, adanya aku akan dipandang aneh.
Aku tersentak kala ia menepuk bahuku. Tatapan matanya yang tajam mengingatkanku dengan psikologku, tatapan yang mengisyaratkan keyakinan, "Ada aku, aku akan membantumu untuk sembuh."
"Sungguh?!" aku tersenyum sumringah, tapi mengingat sudah sering kali aku berhubungan dengan psikolog. Namun, tidak ada yang berhasil, aku menghela napas berat, "tapi aku tak yakin," desahku.
Kedua tangannya meremas bahuku pelan, membuatku menggigit bibirku kala menatap mata tajamnya, "Dengar aku, oke? Tak ada yang tidak mungkin selagi kau bersungguh-sungguh menginginkannya!"
Aku hanya mengangguk pelan, sejujurnya masih tak yakin, tapi karena terlalu gugup berada di dekatnya dengan jarak seminim ini, aku lebih memilih setuju saja.
Ia menyeringai kecil lalu menepuk rambutku, "Anak pintar!" ia terkekeh mendengarku mencebik, "omong-omong, kita belum berkenalanan. Namamu?"
"Haruno Sakura. Kau bisa memanggilku Sakura. Kau?"
Ia menyambut ukuran tanganku sambil tersenyum, "Uchiha Sasuke. Semoga kita bisa berteman baik."
**
to be continued
Gatau ya, aku baper nulis scene ini :")) padahal gak soswit banget :" ucul banget sii mereka itu :")))
KAMU SEDANG MEMBACA
VAMPIRE?
Fanfiction[O N G O I N G - S S S] "Jika kau ingin mengataiku vampir, sebaiknya tutup mulutmu!" ★★ Rate®T+ Genre: Comedy-Teen Copyright©2017 by KarinaHimalaya87 Completed ️(1 Desember 2017 - 19 Juni 2020)