4. Our Memories

1.3K 218 29
                                    

o0o

"Hei, Ra, bukankah dia yang kemarin?"

Aku menoleh menatap Karin lalu melihat ke arah yang dia tunjuk, ada pria yang semalam di sana, tapi tunggu ... dia memakai tas, mungkinkah dia akan pergi? Oh ayolah, aku bahkan belum tahu namanya.

"Kau tidak ingin mengucapkan selamat tinggal? Kupikir dia akan pulang hari ini."

Kugaruk leherku bingung mendengar usulan Ino. Sejujurnya aku ingin, tapi aku malu, bagaimanapun kami baru saja bertemu.

"Haduh, Forehead! Tidak usah malu-malu anjing deh, biasanya juga malu-maluin." Ino mendorong tubuhku untuk maju ke depan, dan teman-teman bajinganku ikut-ikutan membawaku mendekati dia.

"Hei!" aku menutup wajahku saat Karin berteriak untuk memanggilnya. Astaga, gadis itu baru saja mempermalukanku.

Dia berhenti tepat sebelum membuka pintu mobilnya lalu berbalik dan, sial tatapan onyxnya langsung jatuh pada mataku. Rasanya pipiku memanas.

"Hai," aku mencoba menyapanya, "aku hanya ingin bilang, terima kasih telah menolongku semalam."

Dia mengangguk, "Hn."

"Tanya namanya, Forehead!" Ino berbisik di telingaku, sambil mencubit lenganku, ini sakit sialan!

"Aa, namaku Sasuke." wah, sepertinya dia menyadari hal itu. Aku tersenyum kecil.

"Sakura. Haruno Sakura. Senang bertemu denganmu." aku menyambut tangannya dengan senang hati.

Dialah Sasuke, cinta pandangan pertamaku.

.

.

------- back to normal time-------

.

.

"ASTAGA, KAU PRIA YANG WAKTU ITU, SAS?!"

"Hah?"

"KAU SASUKE YANG ITU KAN!"

"Itu apa sih?"

Aku mengacak rambutku frustrasi mendengar jawabannya, ini pertanyaanku yang kurang jelas atau dia yang lambat, huh?

Segera aku mengeluarkan selembar foto yang kuambil beberapa tahun lalu dalam album dan menunjukannya pada Sasuke. "Ini, apa kau kenal pantai ini?"

"Tanabe Okikagahama, aku tahu. Kenapa?"

"Kita pernah bertemu di sana tiga tahun lalu!" pekikku gemas.

Dan kau tahu apa reaksinya?

"Oh."

Menyebalkan tidak sih? Untung ganteng, kalau tidak, sudah kutendang dari bumi sejak tadi.

"Jahat banget, masa hanya itu tanggapannya!" aku menatapnya malas sambil memajukan bibirku. Bukan buat nyium, jangan nethink. Gini-gini, adik punya harga diri, Bang.

"Lalu harus bagaimana? Lagipula kenapa otakmu lambat sekali? Sejak awal aku melihat warna rambutmu, aku saja langsung teringat kau."

Aku melotot, serius? "Kenapa baru bilang sih?!" tanyaku kesal. Ini kita berteman sudah hampir sebulan lho, tapi dia tidak pernah cerita apapun.

"Merepotkan. Pasti ujungnya banyak tanya."

Ngeselin ya emang, untung sayang.

Sayang sebagai sahabat kok, tenang aja.

Masa lalu, biarlah masa lalu.

"Biasa saja mukanya. Sudah jelek, ditekuk ya jadi tambah jelek." Dengan tak berperasaan, dia melempar bantal ke wajahku.

Ya sebenarnya itu masalahnya.

Setelah kenal jauh, ternyata mulut dia itu pedas banget. Tidak bisa dikontrol. Tangannya juga gatel, tidak bisa diam, ada saja yang akan dia lakukan padaku, seringnya sih menyentil dahiku.

Makan hati yang jadi istrinya nanti, pasti.

"Sas, masih sabar ya aku."

"Kata pepatah, orang sabar, pantatnya lebar. Kalau begitu, lanjutkan! Supaya milikmu tidak terlalu datar seperti papan triplek."

"PERGI DARI RUMAHKU, CEPAT!"

Kau tahu apa yang dia lakukan. Dengan tidak tahu diri, Sasuke berbaring di kasurku lalu menutup wajahnya dengan bantal.

"Aku tidak dengar, mataku tertutup bantal."

BODO AMAT SAS BODO!

Ngeladenin dia ngomong itu membuat darah tinggi. Mending diabaikan saja.

Aku membereskan buku album fotoku dari kecil sampai dewasa lalu meletakannya di atas meja belajar. Setelah itu, duduk menatapnya yang masih saja dengan posisi seperti tadi. "Dulu kupikir kau itu cool, keren, yah ... tipe ideal bangetlah! Pas tahu aslinya, rasanya ingin jauh-jauh saja dari darimu."

Dia menyingkirkan bantal berseprai panda itu dari wajahnya lalu menatapku sinis, "Kalau begitu, siapa yang sibuk ngewhatsapp 'Sas, kapan pulang?' kalau aku sedang kuliah?"

"Namanya juga kesepian, kalau aku bisa keluar rumah, aku tidak akan mengirimmu pesan seperti itu."

"Cari suami saja kalau begitu. Biar di kamar terus dan tidak kurang belaian."

"Nak Sasuke saja yang jadi suaminya Sakura."

Mataku melebar mendengar sahutan itu, segera kuberbalik menghadap pintu, dan mendapati ibuku sedang tersenyum penuh harap sambil memegang nampan berisi kue dan dua gelas jus jeruk.

**

to be continued

makin pendek ya gaes. Sempet ngegalau gegara chap sebelumnya cuma satu yg komen :( jadi pen ngunpublish,

tapi untung dapet hidayah,

VAMPIRE? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang