(11) PIKNIK - PART 2

75 10 37
                                    

11.
-Piknik Part 2-

“Abang?! Loe kenapa?” tanya Emily kaget dan berusaha untuk melepas pelukan Abang tapi Abang malah menahannya.

“Please Mil, kayak gini dulu. Gue nggak akan ngapa-ngapain kok.” Jawab Abang. Emily menghela nafas dan lalu membalikkan kembali pandangannya ke depan.

“Loe kenapa sih Bang? Lagi ada masalah? Loe bisa cerita kok ke gue.” kata Emily dengan lembut.

Abang melonggarkan pelukannya dan menundukkan kepalanya di belakang punggung Emily. “Loe lihat gue gimana Mil?” tanya Abang dengan suara parau.

“Maksud loe?” tanya Emily masih dengan pandangan ke depan.

“Loe lihat gue seperti apa?” tanya Abang masih tidak jelas.

“Loe nggak lagi naksir gue kan Bang?” tanya Emily agak kaget. Ketika ia mau menoleh ke belakang, Abang malah menahan kepala Emily dengan tangannya supaya tidak melihat ke arahnya.

“Emang gue nggak boleh naksir loe?” tanya Abang .

“Hmm, bukannya gitu. Ya ampun, arah pembicaraan ini mau kemana sih Bang?” tanya Emily meluruskan.

Abang kemudian mengangkat kepalanya sebentar dan lalu menghela nafas kasar. “Please jawab yang jujur Mil, gue orang macem apa di mata loe?” kedua tangan Abang memegang kedua bahu Emily.

“Loe orang yang baik Abang, loe tuh ramah, loe tuh lucu, loe tuh kadang kekanak-kanakan, kadang aneh, tapi loe itu dasarnya emang humble.” Jawab Emily menggebu-gebu.

“Loe nggak malu punya temen kayak gue?” tanya Abang yang kali ini benar-benar melepaskan tangannya dari badan Emily.

“Abang?” Emily langsung membalikkan badannya melihat lurus ke arah Abang. “Jangan bilang kalo loe lagi minder. Loe kenapa sih?!” tanya Emily kesal.

“Loe beneran nggak malu punya temen macem gue?” tanya Abang sekali lagi.

“Ya ampun, please deh Bang. Kenapa gue mesti malu punya temen kayak loe? Kenapa sih loe punya pikiran kayak gitu?” Emily makin kesal.

“Gue cuma orang biasa yang nggak punya apa-apa Mil. Gue dikelilingin kalian yang orang-orang kaya, gue merasa nggak pantes Mil berada di antara kalian. Gue merasa kayak bebek di antara angsa-angsa putih, berbeda dan nggak bernilai. Gue nggak selevel sama kalian. Merasa nggak sih kalo gue itu kadang nyebelin banget buat kalian? Suka ngerepotin, kadang sibuk sendiri, kadang ngerecokin kalian.” Abang bercerita panjang lebar.

“Abaangg, gue berteman sama loe itu bukan karena loe punya apa-apa. Begitu pun dengan yang lain. Kita berteman sama loe bukan karena ada apanya loe, tapi apa adanya loe. Loe itu temen yang baik, yang humble, yang selalu ada buat kita. Loe itu udah kita anggap sebagai saudara sendiri. Buat apa loe punya pikiran kayak gitu disaat kita nggak ada pikiran ke arah situ. Kita berteman bukan karena harta Abang, tapi karena hati.” Kata Emily sambil memegang dada Abang di ucapan terakhirnya.

Abang memegang tangan Emily dan melepasnya dengan lemput. “Tapi gue merasa nggak cocok dan nggak seimbang berada di antara kalian Mil.”

“Loe baru merasa nggak cocok disaat kita udah mau tiga tahun temenan Bang? Selama ini loe nganggap kita apa?” tanya Emily menatap tajam mata Abang.

“Jujur aja gue selama ini selalu berusaha menyeimbangkan posisi gue diantara kalian. Makanya dari dulu gue berusaha cari cara supaya posisi gue setidaknya bisa sama diantara kalian. Gue cari kerja part time sana sini itu buat apa? Nggak semata-semata cari uang tambahan buat biaya kuliah, tapi supaya gue bisa dipandang sama orang dan nggak dianggap remeh.” Mata Abang berkaca-kaca saat ia mulai menggebu-gebu memberi penjelasan.

Asmara Kuda PoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang