Tatabi

792 42 3
                                    

TATABI

Jam menunjukkan pukul 22.00 WIB ketika terdengar ketukan pelan. Siapa yang berkunjung malam-malam begini? Aku meletakkan batang rokok yang tinggal separuh di pinggir asbak yang penuh puntung. Melangkah dengan malas menuju pintu kost.

Hari ini terasa sangat berat. Sore tadi aku resmi keluar dari pekerjaan. Dipecat, tepatnya. Hasil penjualan rokok mengalami penurunan dua bulan terakhir. Itu sudah cukup bagi perusahaan outsourcing yang bekerja sama dengan pabrik rokok untuk mendepak karyawan yang 'tidak becus bekerja'. Mereka lupa kalau selama dua belas bulan aku berhasil menjual rokok putih merk baru dengan hasil sangat memuaskan.

Kubuka kenop pintu, terkejut melihat sosok kurus berjaket abu-abu yang berdiri gelisah.

"Bapak? Ada apa malam-malam datang?"

"Bapak baru pulang kerja, ikut proyek dekat sini. Sekalian mampir ingin melihat keadaanmu, Tatabi."

"Ayo masuk, Pak. Tapi maaf kamarku berantakan."

Aku buru-buru merapikan beberapa baju dan celana yang berserakan di atas ranjang, di depan lemari dan di sudut kamar. Lalu kulemparkan ke dalam bak berbentuk oval bertutup hijau khusus untuk pakaian kotor di dalam kamar mandi.

Bapak duduk lesehan di atas karpet plastik bergambar Teddy Bear. Matanya menatap asbak yang penuh puntung. Aku segera mengambil rokok yang masih menyala dan menekan ujungnya ke dasar asbak.

"Kamu masih merokok, Tabi?" Suara Bapak tercekat, seolah menahan kesedihan.

"Iya, Pak. Sedikit. Lumayan bisa membantu menghilangkan stres. Bapak mau rokok juga?"

Aku berdiri, mengambil air dingin di kulkas dan beberapa bungkus rokok berbeda merk dari dalam laci meja rias. Lalu meletakkannya di atas karpet.

Bapak menarik nafas.

"Aku sudah berhenti merokok."

Aku menatap wajah Bapak. Keriput dan hitam. Pekerjaannya sebagai kuli bangunan membuatnya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya.

"Benarkah?"

Aku tak percaya dengan perkataannya. Lelaki yang kuingat selalu memegang batang rokok menyala di sela jemarinya, bahkan di kedua telinganya juga terselip benda itu. Ia begitu mencintai rokoknya.

"Semenjak kematian ibumu yang terkena penyakit paru-paru akibat asap rokok, Bapak memutuskan berhenti menghisap benda pembunuh itu."

Mataku berkaca-kaca mengenang almarhumah Ibu yang selalu memakai kebaya dan jarik. Rambut tebalnya digelung ke belakang tanpa konde. Wanita itu selalu mengingatkan Bapak agar berhenti merokok, namun suaminya tidak peduli. Ia terus saja merokok, di mana pun dan kapan pun.

Satu setengah tahun yang lalu, Ibu meninggal di rumah sakit. Pada hari kematiannya, untuk pertama kalinya aku merasakan asap rokok yang menyakitkan sekaligus menenangkan.

Empat puluh hari kemudian, Bapak memergokiku sedang merokok di dalam kamar.Lelaki itu memberi hadiah berupa tamparan keras. Hingga kelima jari tangannya menjelma menjadi tatto merah di pipi.

Saat itu juga, aku memutuskan pergi ke kota berbekal ijazah SMU untuk mencari pekerjaan. Meninggalkan Bapak dengan kakak lelaki yang membuka usaha jual beli HP di depan rumah.

Selama itu pula aku tidak pulang ke rumah. Bahkan pada hari raya sekalipun. Sesekali kakak menjenguk. Aku menyalahkan Bapak atas penyakit yang diderita Ibu hingga menyebabkan kematiannya. Juga atas kemalanganku yang mulai kecanduan rokok. Sama sepertinya dulu.

"Maafkan Bapak, Tabi. Mungkin sudah sangat terlambat. Seandainya dulu Bapak mendengarkan ibumu, pasti saat ini kita masih berkumpul."

"Sudahlah, Pak. Toh semuanya sudah terjadi. Penyesalan memang selalu datang terlambat." Air mata mulai menggenang. Kenapa baru minta maaf sekarang? Tidak dari dulu ketika Ibu meninggal?

"Ibumu pasti sedih melihatmu seperti ini. Bapak hanya bisa berharap semoga kamu selalu sehat dan dalam lindungan-Nya."

"Bapak tidak marah padaku?" Bulir bening menetes, membasahi pipi, melewati bibir.

"Aku tak pantas disebut wanita karena merusak kesehatan dengan rokok. Banyak lelaki yang mencibir perempuan perokok. Kenapa? Bukankah mereka juga egois kalau berkaitan dengan rokok?" Aku menghapus air mata dengan telapak tangan. Pedih, hatiku sakit. Mencari pembenaran.

Bapak beringsut, duduk di sampingku dan membelai rambut panjang yang kusut.

"Kamu tetap putri Bapak yang cantik. Pikirkanlah dengan hatimu, Nduk. Aku yakin kamu pasti bisa memilih jalan yang terbaik. Bapak selalu mendoakanmu, Tatabi."

Lelaki tua itu mengecup ujung kepalaku. Tak lama kemudian, dia berpamitan ingin istirahat di mess yang sudah disediakan perusahaan. Kuantar kepergiannya dengan tatapan pilu.

Setelah mengunci pintu, aku tengkurap di ranjang. Melanjutkan meratapi nasib. Wajahku terbenam di atas bantal. Menjerit sepuasnya.

Melihat reaksi Bapak, aku yakin dia sudah benar-benar berubah. Kepergianku dan Ibu pasti telah melukai hatinya. Bukankah itu tujuan utama aku mengisap rokok? Hanya untuk menyakiti hati lelaki itu.

Tetapi ketika melihat Bapak bersedih, ada gejolak yang tak bisa kuredam. Ternyata aku tak ingin melihat mata sendu itu berduka. Rasa bersalah menghantamku bagai badai. Sakit. Sakit sekali.

Hingga sebuah keputusan terpatri. Kamar pengap ini menjadi saksi.

"Bapak, maafkan anakmu yang durhaka ini. Aku berjanji akan sedikit demi sedikit mengurangi mengisap benda itu, sampai benar-benar mampu meninggalkannya."

"Kumohon, bersabarlah sampai saat itu tiba. Aku akan kembali kepadamu dengan kepala tegak dan menjadi putri cantik yang selama ini menghilang."

Aku terus terisak, membasahi bantal dengan air mata hingga perlahan kesadaran meninggalkanku dalam lelap.

***

Keesokan harinya, sesudah sarapan nasi bungkus yang kubeli di warung sebelah kos, aku menyalakan rokok. Mengisap asap, memenuhi paru-paru dengan racun nikotin dan mengembuskannya lewat bibir yang mulai menghitam.

Hanya tiga kali isapan. Setelah itu aku tekan ujung membara itu ke dalam asbak dengan gemas hingga tembakau di dalamnya berhamburan.

Benci sekali aku dengan rokok! Tapi untuk saat ini, aku tidak bisa hidup tanpanya. Mulutku terasa seperti mengunyah pil pahit yang hanya bisa diusir dengan asap putih bedebah itu.
Suara bel motor membuatku bergegas.

Rupanya Nayla sudah datang. Segera kusambar tas dan merapikan rambut serta mengoleskan lipstik berwarna natural. Gadis berjilbab ungu itu tersenyum dari atas motornya. Hari ini dia akan mengantarkanku menitipkan surat lamaran pekerjaan pada beberapa pabrik dan toko.

Beruntung aku punya teman baik yang tak gampang menghakimi orang dengan label hina. Yang selalu membantu di saat aku menjadi gila.
"Nay, kita mampir sebentar di gedung swalayan dekat pertigaan depan yang baru di bangun itu, ya," ucapku sambil memakai helm dan duduk di belakangnya.

"Ada apa di sana, Ta?"

"Aku mau memberi Bapak nasi bungkus buat sarapan. Beberapa minggu ini dia bekerja di sana."

"Oke."

Motor melaju, memecah pagi yang terasa sangat sejuk. Senyum merekah, rasanya aku terlahir kembali. Penuh semangat.

Hidup akan terus berlanjut. Dijalani dengan baik ataupun buruk itu pilihan manusia. Yang jelas, pilihanku satu-satunya sekarang adalah memulai hidup menjadi putri kebanggaan Bapak.

Mulai detik ini.

Selesai

Kumpulan Cerpen Penggugah JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang