"Mas! Tolong angkatkan bak isi jemuran ke depan, ya." Ana menunjuk bak plastik hitam berisi baju setengah basah yang baru saja keluar dari mesin pengering. Telunjuknya besar-besar seperti pisang kepok membuatku merasa merinding.
Entah setan apa yang merasuk sampai mau menikahi perempuan berbadan tong di depanku ini. Lima tahun lalu, aku khilaf, tak berdaya menolak keinginan orang tua yang ingin segera meminang cucu. Ancaman tidak mendapat warisan membuatku ciut nyali. Waktu itu hanya ada dua wanita pilihan, Sita si perawan berkulit legam bak pantat wajan, atau Ana si Gadis gendut berlesung pipi. Mereka pacar yang dengan mudah kudapatkan. Hanya bermodal gitar dan rayuan, kedua wanita itu jatuh kepelukan.
Pilihan jatuh ke Ana. Meskipun berbadan besar, ia berkulit putih. Paling tidak ada yang bisa membuat mataku senang. Terbukti dengan malam pertama yang sukses mendobrak gawang. Gol cantik terjadi pada menit ke-lima. Aku ingat, lemak-lemak di seluruh badan Ana bergoyang tak terkendali. Seperti gelombang Tsunami.
Wanita idamanku sebenarnya seperti Rara, kembang desa sebelah yang berdada montok. Atau seperti Ika, anak guru SD yang berbadan langsing. Bukan Ana, perempuan cerewet berbobot 65 KG dengan tinggi badan 150 CM. Lihat saja pahanya, nyaris tak ada celah. Kembar dempet!
Ana berjalan mendahului. Aku seperti mendengar suara gempa berasal dari langkah-langkahnya. Daster motif bunga besar-besar yang sudah penuh ventilasi membuatnya nampak lucu. Ana memang tak begitu suka membeli baju. Dia tergila-gila dengan perhiasan. Kalung model rantai melingkari leher, gelang keroncong memenuhi pergelangan tangan, cincin mencekik jemari gendutnya. Hanya telinga yang bebas emas. Tiap kali memakai giwang, lubang tindiknya langsung blonyok alias iritasi.
"Mas Rijal, kok malah bengong? Kiran sebentar lagi pulang sekolah. Aku mau menjemputnya."
Lamunan buyar, segera kuangkat bak menuju jemuran di halaman belakang. Duh, Gusti! Pemandangan yang membuat mata ini sepet terjadi. Ana berjongkok mengambil baju, ujung daster belakangnya tersingkap. Menampilkan lipatan lemak nan memilukan.
"Dek, aku nanti pulang telat. Ada rapat di kantor."
"Iya, Mas. Hati-hati. Kalau pulang bawakan martabak manis jumbo ya."
"Tentu, sayang. Apa sih yang nggak buat kamu?"
Ana menggigit hanger. Dia bergoyang ke kanan-kiri sambil mengedipkan mata. Ting ting ting.
Ah, dasar wanita. Gampang banget membohongi mereka. Panggilan sayang bisa membuat klepek-klepek.
Getaran ponsel mengejutkan. Ada pesan dari Bang Somplak.
"Mas, nanti malam jadi ketemuan?"
"Jadi, dong."
"Kutunggu di resto Layer, ya."
"Oke."
Segera kuhapus semua pesannya. Jangan sampai Ana tahu hubunganku dengan Bang Somplak. Bisa pecah perang dunia.
***
Tepat pukul 18.30, aku sampai di resto. Tukang parkir membantu mencarikan tempat untuk mobil. Rumah makan itu memang selalu ramai dan tempat yang pas untuk berselingkuh. Ya, selingkuh untuk pertama kalinya.
Bang Somplak datang. Dia begitu cantik dengan longdress hitam yang membalut tubuh langsingnya. Aku memanggilnya, dia tersenyum dan berjalan cepat mendekat.
"Mas Rijal! Lama nggak ketemu, kamu makin ganteng saja." Bang Somplak alias Sita menjabat tanganku. Dia merapikan anak rambut ke belakang telinga dengan anggun.
"Sita, kamu juga makin cantik dan ... putih."
Sita menunjukkan deretan gigi berkilau "Kalau punya duit, semua mungkin."
Sita telah berubah. Mantan pacarku itu sekarang semakin cantik. Kabarnya, setelah putus denganku dia juga menikah dijodohkan orang tuanya. Seorang lelaki renta pemilik tambak udang windu. Suaminya meninggal satahun lalu terkena penyakit tua. Sita mewarisi seluruh kekayaan suaminya. Kami bertemu kembali lewat facebook seminggu lalu. Saling mengirim pesan dan janji mau bertemu.
"Bagaimana kabar Ana, Mas?"
"Baik, dia makin subur. Ha ha ha ...."
"Nggak pingin coba yang langsing?" Sita mengerling. Rasanya ada yang mengganjal di tubuh bagian bawah. Ah, bahaya kalau 'dia' bangun.
"Maksudmu?" Aku balik bertanya.
"Aku mau bertemu Ana, membantunya agar langsing. Biar suaminya nggak jelalatan kayak Mas Rijal." Sita tertawa berderai. Ia melambai pada seorang pria gagah yang baru memasuki resto. "Kenalkan, ini Mas Rofiq, suamiku."
Sialan! Aku cuma di PHP in.
Awalnya hubungan kukira petualangan cinta yang mendebarkan. Ternyata anggapanku meleset, Sita bukan janda lagi. Dasar pembohong! Tak sanggup makan bersama pasangan itu, aku pamit pulang.
Tanpa ba bi bu, kublokir akun facebook dan nomor Wanya. Harga diri tak mengijinkan aku berhubungan dengan orang yang membuat luka di dada. Ah, ternyata mencari selingkuhan itu tak mudah. Penuh liku-liku.
Mobilku meluncur, menuju rumah. Merindukan istri setia. Ana menyambut, Kiran memeluk mesra. Kami berjalan masuk rumah sambil bergandengan tangan. Aku mengempaskan diri di sofa. Masih tak percaya dengan kejadian yang baru saja terjadi.
"Nggak jadi rapat, Mas?" aku menggeleng lemah.
"Mana martabak manisnya?"
"Lupa. "
"Kalau begitu, kubuatkan telur ceplok kesukaanmu, ya?"
"Nanti saja, masih capek."
"Karin, Ayah capek. Yuk kita pijitin."
Tanpa menolak, Karin meraih lenganku. Gadis tembem berpipi apel itu mulai menekan jemarinya yang halusdi sepanjang kulit. Sementara Ana berdiri di belakang. Memijit bahu dan pundak. Enak sekali rasanya.
Mataku terpejam. Sekelebat pikiran menohok. Bagaimana mungkin aku rela menghancurkan kebahagiaan ini demi cinta sesaat? Benar kata Sita, Ana bisa memulai diet menurunkan berat badan. Memperbaiki penampilan, mengenyahkan deretan daster kumal yang berjejalan di lemari. Saatnya Ana tampil cantik sebagai Nyonya Rijal, sang pemilik toko elektronik ternama.
"Ayah, apa di sini ada dedek bayi?" Kiran bertanya polos. Ia menyentuh perutku yang menggunung. Mengalahkan perut Ana.
Ah, ternyata aku juga harus diet.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Penggugah Jiwa
Short StoryKetika kehidupan terasa melelahkan. Berhentilah sejenak, hirup napas dalam-dalam dan katakan dengan lantang "Aku pasti bisa bertahan!" Cover by @Badrian's