Tercabik Rindu

928 21 0
                                    

Tercabik Rindu

"Asingkan dia! Wanita gila ini penyihir! Dia telah mengguna-guna anakku sampai jadi linglung!" seorang lelaki renta menunjuk-nunjuk gadis berbaju merah yang tersungkur, kepalanya menunduk, rambut panjang menutupi wajahnya.

Sementara para penduduk desa ramai membawa kentongan. Beberapa obor membantu menyinari malam. Purnama merah menggantung di langit, menjadi saksi kebiadapan manusia.

"Dasar keturunan dukun! Emakmu sudah mati dimakan harimau, sekarang kamu mengikuti jejak dukun hitam itu. Pergi kau dari desa ini!" lanjut Ki Probo, tubuh kurusnya berkacak pinggang.

Perlahan gadis itu menatap Ki Probo. Sinar matanya menghantam pertahanannya. Sesepuh desa yang dikenal suka main wanita itu mundur beberapa langkah. Seorang penduduk desa memegangi bahunya.

"Aku tidak pernah mengguna-gunai anakmu, Ki Probo. Justru Sabda yang akan merenggut kehormatanku. Aku membela diri, kepala Sabda terantuk batu! Akhirnya dia jadi seperti itu." Kanthi seperti macan, beringas dan berani. Sayang sekali kaki dan tangannya dalam ikatan. Kalau tidak, gadis penari tayub itu pasti akan menyerang.

"Apa kalian percaya perkataan penari tayub hina ini? Sabda anakku ingin memperkosamu? Itu tidak mungkin! Dia akan segera kukawinkan dengan kembang desa ini. Tak mungkin Sabda mau dengan pelacur sepertimu."

"Aku bukan pelacur! Jaga mulutmu, Ki Probo! Meskipun aku penari tayub, tapi aku selalu menjaga diri."

Penduduk berkasak-kusuk. Beberapa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Probo melihat itu tak menguntungkannya. Ia mencari cara lain.

"Kalau begitu, kita pasung saja wanita hina ini di dekat hutan. Aku takut kalau dia dibiarkan berkeliaran, bisa membuat petaka."

Beberapa pria mulai menyeret Kanthi. Tanpa air mata, gadis itu terpaksa berjalan. didorong tenaga laki-laki.

Sepasang mata mengamati dari kegelapan. Tak ada satu pun yang tahu. Tak ada seorang pun yang menyadarinya. Langkah kaki seringan bulu mengikuti langkah perbuatan para penduduk desa.

Mereka terus berjalan dan sampai pada sebuah rumah beratap jerami di pinggir hutan. Di sanalah hukuman paling keji berlangsung. Pesakitan akan terpasung di dalam sana. Ki Probolah yang berhak menurunkan hukuman. Tak ada yang berani membantahnya.

Setelah semua pendududk desa pergi, Suasana sepi meningkahi. Hanya bunyi serangga hutan dan sinar purnama yang merintih.

Sekonyong-konyong, terdengar ratapan dari dalam gubuk. Suara sejernih embun menghipnotis pemuda berbaju serba hitam itu.

Purnama
Katakan pada dunia, aku tidak bersalah
Durjanakah mempertahankan kehormatan?
Nyaris dicabik serigala berwujud manusia
Salahkan membela diri?
Mempertahankan mahkota cinta
Purnama, tolong aku.
Bebaskan raga dari penderitaan ini

Melodi menyayat hati itu merobek kesadaran. Buliran bening menuruni pipi pemuda berahang kokoh. Ia memegang kepalanya yang berdenyut. Kilasan perbuatannya menghantam dengan cepat.

Saat malam jahanam itu menghampiri. Entah setan apa yang merasuki. Hingga ia tega ingin merenggut kesucian teman sepermainan sejak kecil. Gadis yang diam-diam ia cintai.

"Kanthi," rintihnya pilu.

Sabda sadar, telah melakukan kesalahan fatal. Berita pertunangannya dengan Ningrum membuatnya gila. Tak mungkin ia menjelaskan kepada bapaknya yang keras kepala. Ia akan menyelamatkan Kanthi, membawa gadis itu pergi dari desa.

Apakah Kanthi akan percaya? Bagaimana kalau gadis itu membencinya?

Sabda melangkah memasuki pondok. Kanti duduk berselonjor. Kedua pasung membelenggu kakinya. Gadis itu terhenyak melihat Sabda. Wajahnya seolah tak teraliri darah.

"Sabda! Apa yang akan kamu lakukan? Pergi kamu, pergi!"

"Ampuni aku, Kanthi. Aku akan menyelamatkanmu, membebaskanmu dari belenggu ini."

"Jangan mendekat!"

Sabda terus berjalan menuju Kanthi.

"Jangan mendekat! Kubilang ..."

Kata-kata Kanthi berhenti ketika Sabda mencium telapak kaki kotornya.

"Maafkan aku, Kanthi."

Sabda melepaskan pasung. Kanthi berdiri, merapat di pojok gubug.

"Aku berjanji tak akan menyentuhmu seujung rambut pun. Aku akan membantumu keluar dari desa ini, Kanthi."

Sabda menatap manik Kanthi, memohon agar percaya. Gadis itu mengangguk. Ia mengekori langkah Sabda.

Mereka berdua berjalan menyusuri malam, di bawah cahaya purnama. Melewati tepian sungai, merambah kebun dan jalan setapak. Menuju kehidupan lebih baik.

"Selamat tinggal, Kanthi. Semoga kehidupanmu lebih baik. Maafkan aku."

Sabda menatap punggung Kanthi yang memasuki gerbang desa terdekat. Ia menyerahkan nasib gadis itu kepada Yang Maha Kuasa. Ia yakin, gadis kuat itu akan menemukan kebahagiaan di tempat baru.

Selesai

Kumpulan Cerpen Penggugah JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang