Part 4

168 7 3
                                    

Hari ini pembelajaran sudah berjalan normal kembali dibuktikan dengan adanya satu mata pelajaran yang telah usai. Setelah bel bergema, guru itu pun lantas berlalu di hadapan kelas.

Tasya memasukkan beberapa buku mata pelajaran bahasa Inggris itu kedalam tas dan menggantinya dengan buku sejarah. Ya walaupun guru sejarah belum datang, setidaknya bukunya sudah rapi di atas meja.

Terlalu rajin nggak sih?

Niara kini sudah mengambil bangku dari belakang kursi kosong itu. Menarik agar berdekatan dengan meja Tasya dan Klarisa.

"Woi!" kata Niara dan otomatis kedua temannya itu menengok.

"Apa?" tanya Klarisa bingung.

Ya, perdebatan mereka tidak berlangsung lama karena saat pulang sekolah mereka sudah berbincang-bincang lagi. Entah Tasya sendiri tidak tahu apa yang membuat mereka berdamai.

Tapi biasanya seorang sahabat berdebat tidak akan lama. Karena keduanya merasa saling membutuhkan.

Kini raut wajah Niara tampak berbeda, seperti tersirat sesuatu kesedihan disana. "Kata temen SMP gue si Nelvan deket sama mantannya."

Tuh kan, benar dugaan Tasya.

"Gue padahal suka sama dia sebelum dia pacaran sama mantannya yang sekarang," sangat jelas terdengar nada kesedihan disana.

Tasya yang melihatnya lantas mengelus bahu Niara pelan, "Udah napa lo juga. Cowok di SMA kita emang sih nggak ada yang ganteng tapi masa nggak ada yg lo suka?"

Klarisa mengangguk setuju atas ucapan Tasya temannya. "Tau sih, udahlah tutup cerita SMP lo."

Niara menghembuskan nafas beratnya seolah dengan begitu semua rasa perih di dinding hatinya bisa ia usir jauh-jauh.

"Yaiya sih, tapi gimana."

Huft. Untungnya Tasya belum pernah mengalami rasanya jadi Niara. Karena ia tahu, jatuh cinta diam-diam itu sungguh menyakitkan. Kalian seperti menunggu sesuatu yang aslinya tidak harus ditunggu. Seperti menunggu bom waktu, tau nanti dia akan meledak tapi enggan menjauhinya.

"Ya nggak gimana-gimana. Lo cuma perlu ngeudahin," saran Tasya tepat sasaran.

"Sekarang gue tanya sama lo," lanjut Klarisa. "Emang dia tahu lo suka sama dia?"

Niara bungkam dan kini Tasya menangkap ada sesuatu yang memaksa matanya kemudian menimbulkan sensasi perih atau berkaca-kaca.

Tasya mengatur nafasnya, rasanya tidak tega namun harus tegas. Iya, tegas supaya ia sadar bahwa semua usahanya itu sia-sia.

"Udah sekarang gini. Kita nggak maksa lo buat ngelupain cuma di dalam diri lo harus mulai biasa aja sama Nelvan," kata Tasya halus karena ia enggan menambah cubitan pada hati Niara.

Niara lantas tersenyum begitu tulus. "Makasih ya, gue sayang sama kalian banget."

Klarisa lantas menyengir kuda, "Gue nggak ah. Gue sayang Revan. Soalnya gue nggak doyan lesbian."

Balasan Klarisa tadi membuat Tasya dan Niara lantas terkikik. Semoga saja, ucapan singkat juga receh dari Klarisa bisa sedikit membuat beban di hati Niara perlahan memudar.

***

Tasya kini menscroll beranda instagramnya itu berniat menghilangkan kegabutan akibat menunggu kedua temannya Klarisa dan Niara terlebih karena Tasya tidak ada teman untuk pulang bareng selain Niara. Klarisa? Kalian pasti sudah tahu jawabannya.

"Sya, Klarisa belum beres ya?" Tasya, mengalihkan pandangan yang semula ia taruh pada ponselnya. Ternyata Revan.

Tadi sepulang sekolah tepatnya setelah bel menggema, sebuah suara speaker kembali terdengar yang menginstruksi seluruh anak eskul musik untuk berkumpul di ruang seni. Dan kedua temannya itu merupakan sama-sama anak musik.

GengsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang