Part 11

138 2 0
                                    

Hepy riding

Kalo suka minta votenya yakkkk tayankkk

***

Tasya mendesah frustasi kala gerbang telah ditutup sempurna oleh security berbadan gempal itu, lantas ikut bergabung bersama siswa-siswa yang senasib dengan dirinya.

Pembiasaan biasanya dilakukan lima belas menit sebelum masuk, dan itu artinya ia harus menunggu sampai pembiasaan selesai. Semoga saja Pak Yono Sumarno tidak datang membawa selembaran fotocopyan yang lain tak bukan adalah secarik kertas berisi naskah Resolusi Millenials.

Huh. Kalau berbicara tentang Resolusi Millenials, hampir kebanyakan orang kurang mengerti tentang peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Kali ini kakinya terus berdiri bak anak balita yang sedang dijemur pada jam-jam matahari sehat. Ia melirik pada berbelasan orang yang sama dengannya, namun sama sekali tidak ada teman sekelas Tasya.

Beberapa pesan masuk di applikasi chatting berwarna hijau itu. Dari multichat mereka bertiga.

Niara: Lo dimana
Klarisa: pelajaran bu dian nih

Baru jemarinya ingin mengetik sebuah pesan balasan, suara derekan gerbang memekakan telinganya. Lantas Tasya langsung berlari kecil untuk mencapai kelasnya.

Akhirnya Tasya sampai juga di kelasnya, nafasnya kian memburu seolah ia habis lari marathon.

Jemarinya ia ketuk pada daun pintu dan meraih kenopnya. Mata Tasya langsung menangkap berpuluh siswa sedang serius menyimak bu Dian, juga melihat bu Dian yang kini menatapnya.

"Tasya 'kan?" tanya bu Dian dan sontak mata puluhan siswa kini tertuju pada Tasya.

Tasya mengangguk. "Iya Bu."

"Kenapa telat?" katanya tegas dan berwibawa. Aura killernya kini seakan mampu menusuk keberaniannya.

Tasya bergumam, "Hmm, hmm itu tadi macet."

Bu Dian hening sejenak, seperti harus memberi hukuman apa yang akan ia berikan. Namun detik kemudian ia menolak, anggap saja ini kesempatan terakhirnya bisa telat dan diizinkan masuk.

"Yaudah kamu masuk." Saat itu juga Tasya merasakan lega. Akhirnya, untung saja bu Dian dan dirinya lupa akan konsekuensi kelas sepuluh, bila telat setelah pembiasaan, itu berarti ia harus keluar sampai jam pelajaram itu berakhir.

Langkahnya terus ia arahkan pada bangku kosong di sebelah Klarisa, baru ia ingin menghempaskan bokongnya itu. Bu Dian kembali bersuara dengannya.

"Berhubung baru saja ada pembagian kelompok, terus kamu nggak ada. Jadi anggota kelompok kamu dengan, Abyan, Caca, Keanno, dan Kamu."

Entah Tasya bingung harus senang atau bersedih. Senang karena bisa menatap wajah Keanno lama atau sedih karena takut mulut pedasnya memborbardir tingkat kepercayaan dirinya.

"Karena Abyan izin, dan Caca sakit. Jadi kamu berdua dulu ya kerjainnya." lanjut Bu Dian, "Nggak ada protes!"

Pandangannya kali ini ia lihat pada kursi di sebelah Nelvan yang ternyata tidak bermakhluk itu. Tasya lantas mengangkat jari telunjuknya tinggi hendak menannyakan sesuatu kepada Bu Dian.

"Bu kalo Keanno kemana?" Bukan. Bukan karena Tasya memperhatikannya, cuma ia enggan harus mengerjakannya sendiri.

Satu.
Dua.
Tiga.

Seperti dalam hitungan sampai ketiga, suara kelasnya kian bergemuruh. Kebanyakan bersorak 'cie'. Teman sebangkunya, Klarisa juga tak henti menyenggol bahu, menggodanya.

GengsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang