💦Kabar

231 11 0
                                    

Hari ini hujan turun cukup deras. Waktu baru saja menunjukan pukul 14.23. Bis yang di tumpangi Aisyah melaju dengan lancar di jalanan kota Jakarta yang biasa macet. Di dalam bis suasana terasa hangat, mulai dari penumpang yang saling bercerita, yang pokus memandangi jalanan kota, bahkan ada yang tertidur pulas. Aisyah sendiri sedari tadi justru pokus pada kitab suci dengan warna khas biru muda di tangannya–warna kesukaan Aisyah. Surat Al Muluk tengah di bacanya dengan khusuk.

Tak berapa lama, kenek bis mulai berteriak kembali, memberi tahu bahwa bis tujuan telah tiba di terminal. Aisyah turun dari bis kemudian berlarian kecil untuk berteduh, serupa dengan penumpang lain yang juga berlarian untuk mencari tempat agar tak terguyur derasnya hujan. Mata Aisyah mulai sigap mencari seseorang yang dikenal nya di tempat ini.

"Ica.. Ica... Aisyah Sauqi Athanaya....!" Teriak seorang wanita yang juga sebaya dengannya, bahkan nyaris mirip dengan Aisyah. Dia masih terus melambaikan tangannya ke arah Aisyah yang kini menyadari keberadaab wanita itu.

"Hanum!?" Teriak Aisyah girang dan lekas menghampiri Hanum yang ternyata merupakan sepupu Aisyah.

"Assalamuallaikum, Hanum bagaimana kabarmu?" Aisyah memeluk hangat Hanum.

"Waalaikumsallam ca, alhamdulillah kabarku seperti yang kau lihat hari ini, baik-baik saja. Bagaimana kabar keluargamu di Bandung?" Tanya Hanum kepada Aisyah.

Seketika mata Aisyah yang berbinar itu sedikit meredup, begitupun senyumnya yang tak semekar semula. "Kabar keluargaku alhamdulillah baik num, bahkan kami akan mengadakan acara nikahan. Aku kesini untuk memberi tahu sekaligus mengundang nenek dan keluargamu untuk hadir."

"Kau akan menikah Aisyah? Dengan siapa?" Hanum begitu gembira mendengar kabar akan diadakannya acara nikahan yang disampaikan Aisyah itu.

"Bukan, bukan aku yang akan menikah, tapi zahra, adikku." Ucapnya sedikit menurunkan nada bicara di akhir kalimat.

"Oh maafkan aku ca, ku kira kamu yang akan menikah. Jadi Zahra yang akan menikah, dengan siapa?" Tanya Hanum lagi, kali ini wajahnya sedikit mengguratkan kecewa.

"Mas Fatar num..." Ucamnya lirih.

"Mas Fatar? Mas Fatar teman SMA mu ca? Bukannya kamu menyukainya?" Kini Hanum terlihat terkejut, terlebih dengan sikap Aisyah yang kini terdiam seolah mengiyakan.

"Dia jodoh adikku ternyata num." Ucap Aisyah tersenyun miris. Pasalnya adik Aisyah akan mendahuluinya menikah, apalagi setelah Aisyah tahu lelaki yang akan menikahinya itu Fatar, lelaki yang sejak SMA menjadi cinta dalam diamnya itu.

"Karena itu kamu sedih Aisyah?" Tanya Hanum yang melihat perubahan diraut wajah Aisyah yang kini terlihat murung. "Apa kamu masih menaruh hati pada Fatar?" Ucapnya lagi.

"Tidak, bukan itu num." Aisyah segera menepis pertanyaan Hanum yang tak jauh beda serupa pernyataan.

"Lantas?" Hanum mengernyit.

"Aku hanya memikirkan perasaan orang tuaku, terlebih zahra, dia merasa tak enak hati padaku atas pernikahan itu, sebab mendahuluiku. Tapi sungguh aku tak apa num. Kalau jodok adiku lebih segera untuk bertemu maka itu baik. Mungkin Allah masih menaruh rencananya padaku."

"Aduh sepupuku ini, aku tahu kamu wanita yang kuat, jadi tenang saja ca masih ada aku, aku juga belum nikah. Dan orang tuamu pasti mengerti kok." Ucap Hanum merangkul bahu Aisyah dengan akrabnya. Aisyah dan Hanum bukan hanya menjadi saudara, tapi mereka sudah menjadi sahabat yang amat dekat. Apalagi selama SMA mereka satu sekolah bahkan satu kelas. Terlebih saat usia 15 tahun Aisyah sempat menetap di jakarta karena ikut ayahnya yang mengurusi pekerjaan disana. Sedangkan ibu Hanum memilih menetap di Bandung juga karena tuntutan pekerjaan.

Hujan masih jatuh membasah, hanya saja tak sederas semula, rintiknya mulai ramah sebagaimana alur cerita yang tengah dibicarakan Aisyah dan Hanum selagi menunggu reda. Cerita yang bermula dari sebuah kabar yang dibawa Aisyah kini merambat ke segala sudut pembicaraan ringan.

🌸🌸🌸

SETABAH RINDU AISYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang