Dua hari sudah berlalu, Hari ini Fahri baru mendapat cuti, itupun hanya satu hari. Dia berniat untuk pulang ke rumah abi dan uminya, mengingat telpon dari uminya dua hari yang lalu.
"Assalamuallaikum umi." Ucap Fahri yang mendapati ibunya tengah menyiram bunga di halaman rumah yang cukup luas itu.
"Waalaikumsallam. Akhirnya kamu pulang juga." Ucap Almira, ibu Fahri.
Fahri mengernyit. "Kalimat umi, seolah Fahri tak pulang bertahun-tahun saja."
"Habisnya kamu sibuk sekali sampai lupa pulang begitu."
"Hehe iya maaf umi." Fahri malah nyengir kuda.
Setelah mengajak Fahri masuk Almira segera menyiapkan makan untuk anak sulungnya itu dan membiarkan Fahri beristirahat sejenak seraya menunggu Ardan, ayahnya yang sengaja lebih awal pulang dari kantor.
Kini Fahri dan kedua orang tuanya tengah makan bersama. Sebenarnya Fahri memiliki seorang adik bernama Azkira yang tengah tinggal di pesantren, seminggu yang lalu sempat pulang, hanya saja saat itu Fahri sedang sibuk di rumah sakit.
"Kata umi ada yang ingin di bicarakan dengan Fahri, apa itu umi?" Tanya Fahri.
Almira terdiam kemudian menatap ke arah Ardan. "Ehmm, kamu kan sudah cukup dewasa. Abi dan umi juga sudah mulai tua, dan rumah ini rasanya sepi sekali semenjak adik kamu masuk pesantren." Ucap Almira lembut.
"Maksud umi, umi ingin Azkira berhenti mesantren supaya umi gak kesepian?" Tanya Fahri masih tak mengerti.
"Bukan, buka itu maksud umi. Maksud umi... umi ingin kamu segera menikah." Ucap Almira tak terduga. Berbarengan dengan itu Fahri terbatuk-batuk karena tersedak. Dengan sigap Almira memberi segelas air yang kemudian di teguk habis oleh Fahri.
Melihat tingkah anaknya itu, Almira dan Ardan hanya saling tatap menahan tawa.
"Tapi umi Fahri belum-"
"Umi punya calon untuk kamu. Dia cantik, solehah, dia juga ambil fakultas kedokteran kayak kamu." Ucap Almira yang hanya di tanggapi biasa saja oleh Fahri. "Dia anaknya tante Sarah, sahabat ibu." Seketika itu pula Fahri langsung mengangkat wajahnya, menatap Almira, memastikan.
"Dokter Sarah maksud umi?"
"Iya, kamu pikir siapa lagi?" Ucap Almira dengan masih bercerita panjang lebar tentang niatnya untuk menjodohkan Fahri.
Sementara itu, Fahri hanya terdiam. Tak terasa senyumnya mengembang. Ya Allah, aku akan di jodohkan dengan nya? Apakah ini jawaban atas doa ku? Secepat inikah Kau menjawab doaku ya Rabb?
"Fahri? Fahri?!"
"Eh, iya umi" Fahri gelagap kepergok ngelamun oleh ibunya.
"Tadi kamu dengerin umi ngobrol gak sih?"
"Denger kok umi, denger."
"Jadi, namanya Hanum." Ucap Almira melanjutkan.
"Hanum?" Tanya Fahri sedikit terkejut. Ia kembali menatap Almira memastikan.
"Iya, Hanum Aisyatusyifa."
"Ouh... Itu nama lengkapnya." Gumam Fahri dan kembali mengembangkan senyumnya.
"Kelihatannya kamu setuju dengan perjodohan ini. Jadi kapan kamu akan melamarnya?" Tanya Ardan yang kini angkat bicara.
"Hah? Secepat itu abi?"
"Hal baik itu harus di segerakan Fahri." Ucap Almira seraya menuangkan air ke gelas Fahri.
"Terserah abi, insyaallah Fahri siap."
"Bagaimana kalau minggu depan?" Lanjut Ardan bertanya.
"Kayaknya belum bisa deh bi, kata Sarah ibunya masuk rumah sakit. Kayaknya waktunya belum tepat deh."
"Iya abi, benar. Kemarin Fahri juga sempat bertemu dokter Sarah di rumah sakit. Nek Amita kena serangan jantung."
"Kalau begitu biar umi bicarakan lagi dengan Sarah kapan baiknya." Ucap Almira beranjak. Sejenak, ia menatap Fahri yang terlihan berseri-seri.
🌸🌸🌸
Satu minggu berlalu, Zahrapun mulai ikhlas atas kepergian Fatar dan mencoba untuk menjalani hidupnya seperti semula. Begitupun dengan Aisyah, hari ini ia memutuskan untuk ke Jakarta, dia baru saja mendengar kabar bahwa besok neneknya mulai boleh pulang. Terlebih hanya tante Sarah dan Hanum yang menjaga neneknya itu. Om Burhan dan tante Ana telah kembali ke Kualalumpur dua hari yang lalu sebab pekerjaannya yang belum selesai.
Seperti biasa Hanum menjemput Aisyah di terminal dan mereka langsung ke rumah sakit.
"Ca, aku titip nenek ya. Gak papakan? Soalnya hari ini aku mesti ke kampus, ada yang mesti di urus." Ucap Hanum dengan nyengir kuda.
"Iya iya. Tapi jangan lama-lama."
"Siap. Aku pamit, assalamuallaikum."
"Waalaikumsallam." Aisyah masih berdiri menatap Hanum yang mulai menjauh. Hatinya merasa senang, memiliki saudara seperti Hanum yang periang. Kini tak ada alasan lagi baginya untuk bersedih.
"Astagfirullah, maaf dok, maaf... Saya gak sengaja." Ucap Aisyah seraya memungut map yang jatuh ke lantai. Di berikannya map itu kepada lelaki yang sedari tadi justru mematung.
"Terimakasih. Iya tidak apa-apa." Ucapnya ketika menerima map yang di berikan Aisyah.
Aisyah hanya menunduk. "Kalau begitu saya permisi." Ucap Aisyah berjalan menjauh.
🌸🌸🌸
"Assalamuallaikum nek." Salam Aisyah ketika memasuki kamar rawat nek Ami.
"Waalaikumsallam. Aisyah kamu kemana saja?" Tanya nek Ami ketika melihat cucunya Aisyah baru menemuinya lagi.
"Maafkan Aisyah ya nek, waktu itu Aisyah pergi gak pamit dulu sama nenek." Ucap Aisyah dengan sesal.
"Bagaimana keadaan adikmu Zahra?" Seketika Aisyah menatap neneknya ketika mendapati pertanyaan itu.
"Nenek gak usah khawatir, sebaiknya nenek fokus untuk kesembuhan nenek. Aisyah gak mau loh nenek bikin khawatir kayak kemarin. Lagipula Zahra udah ikhlas kok nek. Itu takdir dan cobaan bagi kita." Ucap Aisyah lembut.
Nek Ami hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi kalimat cucunya itu. Tak lama terdengar pintu di ketuk, seorang dokter di temani suster masuk ke ruangan.
"Bagaimana keadaan nenek?" Tanya dokter muda itu.
"Saya merasa sudah agak mendingan dok." Jawab nek Ami.
Mendengar suara dokter yang masuk itu, Aisyah bisa menyimpulkan bahwa yang datang adalah dokter yang tadi baru saja di tabraknya. Aisyah memang tak sempat melihat wajah dokter itu, bahkan nyaris tak pernah. Seperti saat ini, ia hanya menunduk dan melihat punggung sang dokter ketika sekilas mengangkat kepalanya saat dokter itu asik bicara dengan nek Ami.
"Kalo begitu saya pamit nek, besok nenek baru bisa pulang dan istirahat di rumah."
"Terimakasih dokter." Ucap Aisyah namun dengan tersenyum ke arah neneknya.
Dokter Fahri hanya mengangguk lalu beranjak keluar di ikuti suster tadi.
🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
SETABAH RINDU AISYAH
Proză scurtăPencarian, hanyalah tentang kita yang memutari kalimat takdir. Namun pada akhirnya yang tertulislah yang akan ditemukan. Ini tentang pencarian -pemilik tulang rusuk- yang pada kenyataannya hanya sedang mengitari pencarian itu sendiri.