💦Lamaran

77 3 0
                                    

"Aisyah, darimana aja kamu" Itulah kata yang menyambut Aisyah ketika membuka pintu. Hanum begitu sigap menghampiri. Berdiri tak jauh dari Hanum, terlihat kecemasan masih menghiasi wajah wanita yang tak muda itu—Sarah.

"Aku, gak bisa tidur semalaman."

"Terus kamu pergi ke mana? Waktu aku mau bangunin kamu untuk tahajud, kamu gak ada di kamar. Aku sama mamah panik bukan main nyari kamu."

"Ma.. Maaf." Hanya kata itu lagi yang mampu terlontar dari mulut Aisyah. "Aku udah bikin kamu sama tante Sarah khawatir."

"Memangnya kamu dari mana Aisyah?" Kini Sarah angkat bicara. Ia berjalan mendekati keponakan kesayangannya itu.

"Aisyah dari mesjid tante." Jawab Aisyah pelan. Kepalanya masih menunduk.

"Mesjid?" Ulang Hanum memastikan. Tapi Aisyah hanya diam saja.

Tapi sarah sepertinya tak mempermasalahkan jawaban Aisyah, dia paham betul keadaan Aisyah apalagi setelah mendengar cerita adiknya Fatima, yang merupakan ibu Aisyah.

"Kalo begitu kamu kekamar saja dulu, istirahat lagi. Nanti tante bangunkan lagi untuk sholat subuh." Tutur Sarah pada Aisyah dengan lembutnya. Sarah benar-benar menyayangi Aisyah seperti halnya pada Hanum, apalagi sejak kecil Aisyah seringkali di asuh olehnya.

🌸🌸🌸

Dua hari bukanlah waktu yang lama, bahkan serupa kedipan mata semesta saja—begitu singkat. Hari ini adalah hari dimana Fahri akan melamar Hanum. Dan tentu saja rumah Hanum sedikit di landa kesibukan. Rencananya pukul 08.00 pagi keluarga Fahri akan tiba. Ayah Aisyah pun sudah tiba dari sejak malam untuk ikut serta.

"Ca, aku kok dek dekan ya?" Tutur Hanum pada Aisyah yang sedari satu jam lalu menemaninya.

Aisyah hanya tersenyum menanggapi, ini memang kali pertama saudaranya itu akan di lamar, atau mungkin ini kali pertama Hanum benar-benar jatuh cinta. "Apa kamu mencintainya Hanum?" Tiba-tiba pertanyaan itu yang Aisyah lontarkan entah kenapa.

"Adapun cinta ini karena dia lelaki yang akan melamarku Ca, dan bila kami benar-benar telah sah nantinya, cinta ini juga karena Allah." Jawab Hanum dengan senyum manisnya, lesung pipi menghias di pipi kiri wanita yang kini tengah duduk di samping Aisyah itu.

Aisyah menunduk diam setelah melemparkan senyum kepada Hanum. Hanum yang melihat reaksi Aisyah kini angkat bicara lagi. "Kamu kenapa Ca?" Tanya Hanum dengan lembutnya.

Aisyah menggeleng pelan.

"Udah, pangeran mesjidnya jangan di galauin terus, mending kamu bilang aja yang sejujurnya. Tidak ada salahnya seorang akhwat mengajukan diri duluan untuk ta’aruf. Hal ini malah merupakan suatu tindakan yang mulia, apalagi nikah merupakan perintah Allah dan sunah Rasulullah SAW, menjalaninya tentu suatu ibadah. Dan aku bisa kok bantuin kamu untuk jadi prantara, walau aku sendiri gak tahu bahkan tak pernah bertemu dengan pangeran mesjid itu." Tutur Hanum meski dengan sekelumit tawa.

Aisyah lagi-lagi hanya terdiam. Dalam hati ia membenarka perkataan saudaranya itu, bahkan ia pernah mendengar tentang sabda Rasulullah SAW bahwa, "Apabila seseorang mencintai orang lain, hendaknya ia memberinya tahu bahwa ia mencintainya." Tapi, apakah rasa yang tengah di alami Aisyah itu dapat dikatakan cinta? Bahkan mereka baru bertemu dua kali saja dan Aisyahpun tak tahu nama pria yang telah menbelokkan haluan hatinya, menggetarkan hati Aisyah atas rencana Allah dengannya—pangeran mesjid.

🌸🌸🌸

Keluarga Fahri telah datang, Almira, Ardan, Fahri dan Azkira baru saja turun dari mobil. Terlihat, Fahri juga sepertinya mengajak pamannya—Danu.

Sarah dan Robby berdiri tak jauh menyambut mereka. Setelah bersalaman, merekapun masuk kedalam rumah di sertai tawa dan keakraban.

"Permisi tante, toiletnya dimana ya?" Tanya Fahri pada Sarah.

"Kamu lewat sana, lurus saja. Toiletnya ada di ujung." Balas Sarah, menunjukkan arah.

"Oh iya, terimakasih tante." Fahri bergegas pergi.

"Wah belum juga acaranya di mulai, Fahri kelihatannya sudah gelisah tuh." Canda Robby dengan di tanggap gelak tawa seisi rumah, lantas merekapun saling menimpali lagi.

Fahri berjalan melewati kaca besar yang menghubungkan ruangan itu dengan taman. Tapi sesaat langkahnya terhenti. Dilihatnya seorang wanita tengah duduk sendirian di bangku taman, di tangannya sebuah Al-Qur'an berukuran kecil berwarna biru muda. Wajah wanita itu tengah bersedih, tapi kenapa? Apa dia tidak bahagia atas hari ini?

Fahri tersadar dari lamunannya yang tertarik memperhatikan wanita itu, ia pun melanjutkan langkahnya kembali.

🌸🌸🌸

Aisyah beranjak dari duduk, di tutupnya Al-Qur'an itu. Pikirannya mungkin sedang kacau hingga tak sadar ia melamuni lelaki itu, bahkan seolah bayangannya hadir di balik kaca besar di sana, kaca yang menghubungkan antara taman dan teras dalam.

Kini terdengar pembicaraan dari ruang tamu, Aisyahpun menghampiri Hanum, ia berjanji akan menemani saudaranya itu dilamar dokter Fahri.

Suasana di ruang tamu tiba-tiba hening. "Jadi niat utama kami kemari adalah untuk melamar ananda Hanum sebagai calon istri anak kami, Fahri." Tutur Ardan memulai niatnya. Ia melirik Fahri yang terlihat berwibawa hari itu.

Namun keadaan itu seolah mencabik hati Aisyah. Ya, dia. Lelaki yang belakangan ini ada dalam do'anya adalah Fahri, Muhammad Fahri Akbar, lelaki yang kini duduk di hadapan Aisyah dengan berseri. Dialah yang ternyata akan melamar saudaranya—Hanum Aisyatusyifa.

"Kalau begitu, biar putri saya sendiri yang putuskan." Balas Sarah menimpali.

Hanum tersenyum manis. Ia mengangkat wajahnya dan sejenak menoleh pada Aisyah. Namun, saudaranya itu terlihat gelisah. Sesekali Hanum menangkap Aisyah yang melirik ke arah Fahri tak percaya.

"Hanum..." Kata itu seolah menggantung.

Aisyah menatap ke arah Hanum tak sabar. Ia akan mendengar pernyataan yang mengharuskannya benar-benar ikhlas atas hari ini. Dimana cinta dalam diamnya itu harus berakhir lagi.

Disisi lain Fahri terkejut tak percaya. Benarkah ini? Yang akan aku lamar adalah putri dokter Sarah yang ternyata Hanum, bukan Aisyah yang ku temui di mesjid itu?

"Hanum... belum bisa menjawabnya." Kata itu terdengar pelan di ucap Hanum.

Aisyah menoleh tak percaya, ada banyak pertanyaan yang kini menetap di kepalanya, begitupun Fahri yang menghembus nafas sedikit lega.

Robby menatap adiknya heran. Pasalnya tadi pagi Hanum terlihat berseri, begitu juga dengan Fahri atas lamaran ini. Namun kini dengan cepatnya suasana Hanum berubah, begitupun Fahri yang terlihat gelisah, gelisah yang berbeda dari yang pertamakali di lihatnya.

Acarapun tak berlangsung lama. Setelah keluarga Fahri pamit, sejak saat itulah Aisyah tak terlihat.

Kemanakah Aisyah? Batin Hanum yang sedari tadi mencarinya. Ada yang tidak baik-baik saja sebenarnya. Hanum memang saudara yang sangat sensitif terhadap suasana hati Aisyah. Ia seolah memiliki ikatan batin dengannya. Andai mereka satu ibu dan ayah, mungkin mereka akan terlahir sebagai anak kembar.

🌸🌸🌸

SETABAH RINDU AISYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang