"Ola!" teriakan itu membuat Ola menoleh. Gadis berumur 21 tahun ini mengedarkan pandangannya tapi belum juga menemukan sumber suara yang memanggil namanya. Ia berjinjit, berusaha meninggikan badannya sendiri untuk melihat dibalik kerumuman orang yang memenuhi bandara Juanda. Tentu saja, usahanya sia-sia. Tidak mudah mencari seseorang di tengah lautan manusia seperti ini.
Ola heran sendiri kenapa bandara sangat penuh di bulan Februari yang bukan merupakan high season. Pertanyaannya tidak terjawab, karena detik berikutnya, sebuah tangan menarik lengannya menjauh. "Ketemu, Pa?" Tanya Ola pada dokter Wahyu, pria berkumis tebal berumur awal lima puluhan yang menarik lengannya.
"Itu bukan? Papa kok agak lupa sama wajah Adria." Ola mengikuti arah yang ditunjuk ayahnya. Mata Ola melotot. Kalau gadis yang ditunjuk itu tidak tersenyum lebar sambil melambaikan tangan, Ola tidak akan percaya kalau itu adalah Adria, sepupunya yang beda satu tahun dengannya.
Tanpa aba-aba, Ola langsung mendekat dan menabrak Adria. "Kangeeeeeen!" Ucapan Ola tepat masuk ke gendeng telinga Adria disela-sela pelukan Ola yang sangat erat. Ola memang lebih tinggi dari Adria, sehingga bibir Ola tepat sejajar dengan telinga Adria. Adria balas memeluk dengan sebuah senyum hangat terukir di wajahnya.
Ola kemudian melepaskan pelukannya dan menatap Adria "Who are you?" tanyanya dengan wajah bertanya-tanya, lengkap dengan kerutan di dahi.
Adria mendecak dengan senyum miring di wajahnya. "Tadi main peluk, sekarang malah pura-pura nggak kenal. Kejem banget sih, La, masak baru lima tahun nggak ketemu sudah lupa?"
"Mbak Ola." Ola meralat. Sudah bertahun-tahun Ola berusaha membiasakan Adria memanggilnya dengan embel-embel 'mbak', tapi usahanya tidak pernah membawa hasil. "Lagian, kita udah 5 tahun nggak ketemu, wajar dong kalau aku tanya. Papa aja sampai bilang kalau sudah lupa sama wajahmu."
Adria menoleh ke pamannya, seakan teringat masih ada orang lain selain mereka bedua. Perasaannya membuncah ketika melihat wajah pamannya dari dekat seperti ini. Meski beda jenis kelamin, Adria langsung teringat ibunya yang meninggal saat ia masih kecil. Wajah mereka mirip sekali. Oom Wahyu adalah versi laki-laki ibunya.
Adria tersenyum kecil dan mencium tangan pria separuh baya itu dengan sopan. Saat gadis ini mendongak, senyum kecil itu berubah menjadi cengiran lebar yang memenuhi seluruh wajahnya karena pamannya langsung mendekapnya dengan erat. "Nggak nyangka sekarang kamu segedhe ini, Dri."
"Eh... eh... eh...!" Ola menarik tangan Adria yang sedang membalas pelukan ayahnya. "Pelukan di depan umum!"
"Sirik ih!" Balas Adria sambil melepaskan pelukannya pada dokter Wahyu yang hanya tertawa melihat kelakuan dua gadis itu.
"Ayo, sini, Dri... mana kopermu." Dokter Wahyu mengajak keduanya meninggalkan bandar udara kota Surabaya itu.
Koper merah Adria malah berpindah tangan ke tangan Ola. "Tamu kan harus diservis, jadi aku bawain koper kamu yang besar." Ola mengedip licik dan segera menyambar koper yang beroda itu. Tentu saja Ola memilih koper, pilihan lainnya adalah travel bag biru yang kelihatannya sangat berat. Mending menarik koper yang punya roda, ringan!
"Serius nih, kenapa jadi bule begini?" Ola bertanya saat mereka menuju ke tempat parkir. Ia ingat sepupunya bukan jenis gadis yang suka mewarnai rambut, apalagi dengan warna mentereng sepeti itu.
"Ini?" Adria menyibakkan rambut panjangnya yang kini berwarna kecoklatan dengan highlight pirang. "Ganti suasana, habis patah hati. Gimana cocok nggak?"
Ola tergelak. "Makanya cari pacar. Heran deh, waktu SMA pacaran terus nggak pernah absen, kuliah malah nggak ada gandengan."
Adria ikut tertawa sementara dalam hati, sebuah lagu kepahlawanan kota Surabaya tiba-tiba diputar otaknya ketika kenangan kota ini dua tahun yang lalu berputar dengan cepat di kepalanya layaknya sebuah video yang sedang difast forward.
Surabaya, Surabaya, oh Surabaya kota kenangan, kota kenangan takkan terlupa.
Di sanalah, di sanalah, di Surabaya pertama lah, tuk yang pertama kami berjumpa...
YOU ARE READING
Empat
Teen FictionSatu detik saja harus kulalui tanpa melihatmu, Dua mataku menjadi sepi. Tiga detik... bagaimana mungkin kau memintaku menunggu selama itu. Empat. Aku akan mengatakannya dalam hitungan keempat. Satu, dua, tiga... empat Empat. Inilah perasaan terdal...