Bab 4.1

45 6 0
                                    

Adria bukan orang yang terlalu spontan. Malah, bisa dibilang refleksnya kurang, terutama untuk ekspresi wajahnya. Entah ini anugerah atau kutukan yang pasti ia bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik saat suatu kejadian terjadi di depan matanya. Ia masih memerlukan waktu untuk memproses kejadian itu sebelum akhirnya merespon.

Dan saat respon itu terasa di dadanya, siap untuk dipasang di wajahnya, waktulah yang tidak berpihak dengannya. Seperti saat ini, saat desakan luapan emosi itu ia rasakan, ia tidak boleh menunjukkannya. Gadis ini bergerak gelisah di kasurnya. Dengan sangat hati-hati ia membalikkan badannya, berusaha tidak menimbulkan gerakan yang bisa mengejutkan Ola. Ia menarik nafas panjang, menahan perasaan yang berkecamuk di hatinya.

Adria menelan ludah dan memutuskan menegakkan badannya. Kakinya bergelantungan bebas saat ia duduk di atas kasur. Gadis ini menoleh sekilas saat derit kasur itu terdengar. Ola masih tidur dengan nyenyak, sama sekali tidak terganggu dengan keributan yang ditimbulkan ribuan sel di tubuh Adria yang berteriak-teriak meluapkan emosi yang tertahan.

Adria meraih travelbagnya dan mengeluarkan ipodnya yang selama beberapa hari ini tetap tersimpan di tasnya. Biasanya ia jarang terlepas dengan benda mungil berwarna biru itu. Lima tahun tidak bertemu dengan Ola membuat topik pembicaraan mereka tidak pernah habis, Adriapun tidak memiliki waktu senggang dan tidak merasa kehilangan ipodnya. Sampai detik ini.

Gadis ini kembali berbaring dengan earphone dengan warna senada dengan ipodnya tergantung ringan di telinganya. Sebuah lagu mengalun lembut di telinganya sementara matanya tertutup, berusaha menghilangkan adegan tadi sore.

Ditya berpura-pura tidak mengenalinya. Apakah ia begitu memalukan sampai Ditya menolak mengenali mantan pacar sendiri?

Jari Adria menekan tombol next di ipodnya tanpa membuka matanya. Ia sudah hafal mati letak tombol itu. Lagu itu terlalu sendu untuk suasana hatinya saat ini dan ia butuh lagu yang lebih ceria.

One, two, three, four...

Lagu itu! Adria membuka matanya sementara tangannya menaikkan volume lagu berbahasa Korea itu.

Tanpa terasa air mata mengalir di pipi Adria. Kamar itu sepi, tak ada denggung AC seperti kamarnya di Jakarta. Suara putaran kipas anginpun tidak ada. Sepi sekali. Tidak, tunggu. Ada sebuah suara!

Suara kilat menyambar dari kejauhan. Dari jarak waktu yang jauh sekali. Lima tahun yang lalu. Petir yang terlihat membelah langit 5 tahun yang lalu kembali menghadirkan suaranya yang menggelegar di telinga Adria, diiringi sebuah selipan memori yang masih sering muncul dalam ingatannya.

Satu, dua, tiga, empat...

Adria mengangkat ponselnya sebelum benda kecil itu menghitung sampai lima. "Halo. Ditya?"

Sebuah nafas berat terdengar. "Halo."

"Dit?" tanya Adria sambil mengerutkan kening, suara Ditya terdengar gemetar.

"Di mana sekarang? Suaramu aneh. Dit?" Adria sekarang khawatir. "Kamu nggak apa-apa?"

"Oiya, nggak apa-apa. Kenapa kamu telpon?" suara Ditya sudah kembali normal.

"Kamu di mana? Nggak jadi ke PTC?" Adria menyebutkan sebuah mall di selatan kota Surabaya.

"Nah, itu dia." Suara Ditya terkesan sedang geli. "Oke, jangan panik, tapi aku kecelakaan, Dri. Sekarang lagi di rumah sakit." Ditya menjelaskan.

Tentu saja Adria langsung memanggil taxi dan pergi ke rumah sakit yang dimaksud Ditya. Setiap kali otak Adria memutar ulang kejadian ini, gadis itu berharap saat itu ia tidak pernah menanyakan apa nama rumah sakitnya. Ia berharap tidak pernah tahu kejadian itu dan pergi ke rumah sakit. Ia berharap saat itu responnya juga terlambat dan tidak segera meloncat menghentikan taxi pertama yang lewat di depan sekolahnya.

Adria menutup seluruh wajahnya dengan selimut tebal yang ia pakai bersama dengan Ola. Dingin. Kamar itu tiba-tiba terasa semakin dingin. Hawa kota Malang yang dingin menyusup sampai ke tulangnya. Gadis ini melingkarkan tubuhnya di bawah selimut sampai tertidur lelap.


EmpatWhere stories live. Discover now