Bab 4.2

51 6 0
                                    


Benjy menggandeng adik kecilnya sementara kakinya melangkah. Kepalanya bergerak ke kanan ke kiri saat mereka hampir sampai di balai desa. Detak jantungnya meningkat beberapa saat setelah ia menemukan apa yang ia cari. Dilepaskannya pegangan tangannya dari Adi dan anak kecil itu segera berlari masuk ke ruangan yang sudah disulap menjadi sebuah ruang kelas lengkap dengan papan tulis putih.

Adria berjengit tanpa suara ketika sebuah tangan menyambar tangannya. Ia berusaha menariknya, namun ototnya langsung tidak menuruti kemauannya ketika tahu siapa yang memegang tangannya. Pemuda kemarin. Tangan Adria digenggam oleh pemuda itu dengan erat, seakan sedang dipelajari.

"Sering sakit?" ucapan pria berambut sebahu yang dikuncir kebelakang itu membuat Adria menatap wajahnya. Wajah lancip itu masih memegang telapak tangan Adria dengan ekspresi ingin tahu.

"Di sini?" pria itu memegang dadanya sambil mendongakkan kepala pada Adria.

Adria tidak tahu organ bagian mana yang dimaksud cowok itu. Tapi ia merasa apa yang dikatakan cowok itu hanya kiasan. Sakit yang ia maksud adalah sakit hati. Perasaan. Paling tidak, itulah yang Adria rasakan sejak kemarin. Rasa sakit yang bergulung-gulung timbul kembali setelah sempat tenggelam sekian lama.

"Oi, Mas Ben! Mas Ben!" Ola bergabung dengan mereka.

Benjy tidak merasa terusik dengan teriakan Ola dan terus mendesak Adria. "Sakit, kan? Di hati."

Ola tidak sabar dan memisahkan tangan Benjy dan Adria. "Jangan mau dipegang-pegang Mas Ben, Dri. Mas Ben ini suka sok tahu... bisa deteksi penyakit lewat genggaman tangan katanya."

"Oh. Aku Adria." Adria tidak pernah secepat ini memperkenalkan diri dan sekarang tangannya terulur di udara dengan bebas. Tangan itu tidak pernah tersambut karena detik selanjutnya, Benjy membalikkan badan dan keluar dari lokasi balai desa. Ia sama sekali tidak memalingkan wajahnya.

Adria ditinggal dalam keadaan terperangah. Ola menurunkan tangan Adria yang masih terangkat sambil terbahak. "Udah, masuk aja yuk. Mas Ben memang aneh. Dia kakak Adi tuh, kayaknya pengen balas dendam sama kamu karena kemarin marah-marah sama Adi."

Adria masih menatap tangannya. Tangan pemuda itu masih bisa ia rasakan. Dan lagu itu kembali terdengar.

Satu, dua, tiga, empat...

*

Benjy tidak berani menoleh. Ia mempercepat langkahnya dan segera masuk ke kamarnya tanpa menghiraukan teriakan ayahnya yang mengomentari baju yang ia pakai. Ah, iya. Ia lupa mengganti celana kolornya dengan celana pendek kain yang biasa ia gunakan saat mengantar Adi.

Pemuda berkulit putih ini segera mengacak lemarinya, mencari diantara tumpukan kertas-kertas storyboard yang ia buat. Ia meniup kardus berdebu yang ia temukan dibawah kasurnya. Dibukanya kardus bekas mie instant tersebut dan ia menemukan apa yang ia cari.

One, two, three, four: empat.

Itu judul yang tertera di atas kertas storyboard berisi 100 panel itu. Senyuman langsung menghias wajahnya saat pikirannya berlari menuju sebuah adegan kejadian nyata yang ia tuangkan dalam gambar.

Saat itu petir menyambar dengan hebatnya. Benjy sudah berada di ruangan yang dikelilingi tembok putih itu selama beberapa hari. Kamar rumah sakit. Ia bosan tapi kepalanya yang kemarin dijahit masih terasa sakit. Lagipula, ibunya-yang saat itu jauh-jauh datang dari Pakis untuk menjaganya-pasti tidak mengijinkan ia turun dari tempat tidur. Ibunya itu memang gampang sekali khawatir padahal ini hanya kecelakaan kecil. Beberapa jahitan seperti itu tidak ada artinya bagi pemuda berumur 23 tahun sepertinya.

EmpatWhere stories live. Discover now