Ruangan itu kecil. Mungkin hanya 1 ½ kali ukuran kamar Ola. Adria tidak akan pernah menyangka ruang sekecil itu bisa muat dimasuki 10 anak dan 2 orang dewasa. Tapi nyatanya, di sanalah mereka, bersempit-sempit ria dan masih bisa bernafas dengan lega. Terima kasih pada dua jendela besar yang ukurannya hampir sama dengan pintu ruangan itu.
Adria tersenyum memperhatikan Ola berdiri di depan sebuah papan tulis kecil yang penuh tulisan dalam bahasa Inggris. Anak-anak kecil yang berumur sekitar 6-10 tahun itu berdiri sambil menggerakkan jemarinya mengikuti gerakan Ola di depan. Mereka sedang bernyanyi Twinkle-Twinkle Little Star. Itulah yang Ola kerjakan ketika ia tidak kuliah, mengajar anak-anak di balai desa yang terletak tak jauh dari rumahnya.
Tiba-tiba anak kecil di sebelah Adria menangis. Adria panik seketika. Ia menoleh pada Ola memohon bantuan, tapi Ola malah meminta Adria menenangkan anak itu.
"Yuk lihat ke depan semua.... Yuk mulai lagi... Twinkle-twinkle little star..." perhatian anak-anak yang lain langsung tertuju pada Ola lagi.
Adria mendecak kesal, Ola tentu saja tahu ia tidak pernah bernasib baik dengan anak kecil. Dengan wajah masih penuh dengan kepanikan, Adria memanjangkan kepalanya pada gadis kecil berumur 7 tahunan yang menangis itu. Ia tidak mau repot-repot beranjak dari kursinya.
"Bu Ola, Adi nakal!" ternyata ditengah tangisannya Sasa masih bisa berteriak lantang. Suaranya keras sekali. Adria dengan terpaksa berdiri dan mendekat pasa Sasa tepat saat seorang bocah laki-laki yang terlihat lebih kecil mengulurkan tangannya hendak menarik rambut keriting Sasa.
"Dik!" Adria tidak tahu siapa nama anak kecil itu sehingga memanggilnya dengan 'adik' saja, meski itu kurang pas karena anak-anak ini bisa jadi keponakannya. Ia harusnya dipanggil 'ibu' sama seperti Ola, tapi Adria memilih menjadi kakak mereka. Ia kan masih muda.
Adria berusaha mengalihkan perhatian anak kecil itu tapi terlambat. Suara tangis Sasa langsung semakin keras terdengar mengalahkan paduan suara twinkle-twinkle litte star itu. Adria berjongkok menghadap Sasa dan mengelus kepala gadis itu, satu-satunya yang terpikir olehnya. Mana ia tahu cara menenangkan anak kecil.
Seseorang menepuk pundak Adria. Adi. Anak itu nyengir menunjukkan gigi depannya yang ompong, "Bu... bagi uangnya dong!"
Apa? Adria mengernyit tapi tidak menanggapi ucapan anak kecil itu.
"Bu... rambutnya kenapa? Kebakaran ya?"
Sial! Adria sudah melewati fase canggung dan merasa semua orang menganggapnya aneh dengan warna rambut seperti itu. Itu hanya berlangsung beberapa hari dan setelah ia terbiasa dengan pantulan wajahnya sendiri di cermin, kepercayaan diri merasukinya dan sekarang ia tidak peduli dengan tatapan orang yang terkadang melihatnya lebih lama gara-gara rambut bulenya. Apalagi di desa kecil seperti ini, hampir setiap bertemu orang baru ia selalu diamati dari ujung ke ujung, namun hanya satu yang berani berkomentar tentang rambutnya.
YOU ARE READING
Empat
Teen FictionSatu detik saja harus kulalui tanpa melihatmu, Dua mataku menjadi sepi. Tiga detik... bagaimana mungkin kau memintaku menunggu selama itu. Empat. Aku akan mengatakannya dalam hitungan keempat. Satu, dua, tiga... empat Empat. Inilah perasaan terdal...